Faiza Mardzoeki

Anak Semua Bangsa, Negeri Semua Orang

Thoughts of the day:(setelah peristiwa visa untuk memasuki Amerika)
Anak Semua Bangsa, Negeri Semua Orang

Faiza Mardzoeki

Imagine all the people
Sharing all the world…

(John Lennon)

Sudah hampir seminggu ini, tiba-tiba aku merindukan lagu IMAGINE-Lennon.
Peristiwa humiliated, US embassy menolak memberi visa kepadaku berdasarkan “profiling” membuatku sedih dan marah. Surat protes dariku dan beberapa professor dari universitas di Amerika (yang mengundang Max, suamiku) ke Duta Besar Amerika di Singapore memang ditanggapi dan dijawab bukan hanya oleh pihak konsuler, tetapi juga oleh pejabat lain di kedutaan. Namun jawaban yang aku terima justru ternyata semakin mempertegas bagaimana watak Pemerintahan Amerika. Bahwa menurut hukum Amerika setiap orang yang melamar visa ke Amerika wajib dicurigai dan dianggap sebagai calon immigran yang tidak akan kembali dari Amerika.

Meskipun begitu, dengan menggunakan bahasa diplomatik, kedutaan Amerika di Singapore itu menawarkan untuk melamar lagi dan akan melihat semua documenku. Penjelasan ini kudapat dari jawaban surat protesku dari Duta Besar Amerika di Singapore. Lalu, segera kukabarkan kepada mereka yang turut serta melayangkan surat protes, mereka rata-rata menganalisa bahwa tampaknya kedutaan Amerika akan mempertimbangkan protes-protes yang ada dan tentu saja dengan cara diplomatik mereka menawarkan “solusi”, dengan melamar lagi.

Kukabarkan kepada temanku di Jakarta, bahwa surat protesku direspon dan ditawarkan untuk wawancara lagi. Dengan “baik dan lugu” temanku di bertanya “ Kedutaan Amerika di Singapore minta maaf nggak ke kamu? Mereka kan sudah sangat diskriminastif dan menjengkelkan?”. Duh, permintaan maaf dari pihak kedutaan tak kubayangkan. Sesuatu yang jauh dari pikiranku bahwa untuk “penguasa birokrasi” sebuah negeri yang merasa paling adidaya di dunia minta maaf kepada pelamar visa dari negeri Indonesia? Kalau ini terjadi, wuah, satu catatan penting bagi “pencerahan peradaban dunia”.

Hatiku sempat menjadi beku soal Amerika. Kehilangan “mood” untuk menginjak tanah amerika. Kenapa? Perasaaku mengatakan kenapa aku mesti ke negeri dengan pemerintahan yang begitu arogan dan diskriminatif terhadap sesama warga bangsa? Tapi di sisi lain, ada perasaan menghargai dan menghormati terhadap mereka, warga baik Amerika, yang sudah membelaku dan meloby supaya aku bisa menghirup perjalanan ke Amerika ini. Aku masih percaya, banyak warga dunia ini yang baik. There are so many good people around the world. Tetapi aku juga tahu bahwa ada sedikit sekali pemerintahan di dunia yang baik dan cinta rakyatnya. Cinta yang sebenar-benarnya.

Demi menghargai upaya teman-teman yang melakukan protes solidarits, demi membuktikan apakah kedutaan Amerika akan merubah pandangan setelah aku memprotes perlakuan yang buruk dan demi angan-angan pergi sebuah negeri paling dominan di dunia. So, aku melakukan wawancara lagi di bagian imigrasi/konsuler Kedutaan Amerika di Singapore. Aku harus bayar lagi sebesar $143, 80 dan sidik jari lagi! Jadi aku sudah membayar $ 287,60 untuk jajni wawancara saja. Dan, mereka mengambil sidik jariku sebanyak 2 kali. Sepuluh jariku, semua disidiknya. Wow!

Lalu wawancara datang. Nomorku dipanggil untuk memasuki counter NO. 1. Rupanya ini counter yang berbeda dengan saat aku wawancara pertama. Di sana ada dua kursi. Masih ada kaca pembatas. Namun ini lebih baik, setidaknya aku bisa duduk berhadapan (dengan dibatasin kaca) dan melalukan wawancara lebih benar. Dan seperti yang aku duga: Tidak ada kata maaf. Tetapi ereka menjelaskan kenapa saat wawancara mereka menollak memberi visa padaku. Alasan utamanya adalah “saya dianggap meragukan akan kembali ke Siangpore. Dan, dilihat sangat berpotensi tetap tinggal di Amerika (alias jadi pekerja migrant gelap!)

Well, pada wawancara ke dua ini, mereka mau membaca semua documen yang aku punya. Surat kawin, visa permanent residen Australia, green visa Singapore, surat-surat sponsor dari berbagai perguruan tinggi di US dan dari bos-nya suamiku, Prof. Farid Alatas dan nanya-nanya pekerjaanku dan apa yang akan kulakukan dilakukan selama di Amerika.

Setelah 30 menit wawancara (lebih berupa intergrasi) akhirnya si petugas itu bilang bahwa aku dapat visa multiple entry! Dan akan diambil 5 hari kemudian.

Mmmm, betul juga kata teman-teman di Amerika. Setelah mendapatkan lebih dari 10 surat protest dari para pengundang Max yang hampir semua professor universitas terkemukan, aktivis human rights dan temanku dari Indonesia, Kedutaan Amerika merubah keputusan, dan tentu saja dengan cara “sangat diplomatik”!

Protes kadang bekerja dengan baik. Protes bisa merubah keputusan. Kalau toh protes itu tidak merubah keputusan, protes adalah wujud dari pembelaan dan dignity!

Memang keinginanku mengunjungi kota-kota Amerika dan negeri lain, terutama New York belum sirna. “ada yang memanggil-manggil di sana”. Aku ingin meraup pengalaman dari kota terbesar di dunia, dengan segala keindahan dan gejolaknya. Dengan segala unsur budaya dan gairahnya. Dan, tentu saja untuk kembali. Kehidupanku adalah di negeri tropisku: Indonesia. Tetapi aku ingin memperluas horizonku. Mengepakan sayap tinggi meraup kegairahan hidup berbagi negeri, khususnya di mana ide-ide pencerahan, kemajuan dan pengalaman kemundurannya berjalan.

Tahukah kalian keinginan aku ke New York sederhana: selain jalan-jalan dan menemani sahabat hidupku, Max, yang akan memberikan kuliah di berbagai uiversitas, aku ingin melihat pertunjukan drama Broadway. Aku ingin melihat langsung dan belajar. Karena aku sedang mimpi dan akan mempersiapkan drama musical yang akan kutulis dan kuproduksi. Dan aku ingin merasai desah nafas alunan Jazz yang konon lahir dari kegelisahan nurani kemanusiaan . Musik yang menghentak dari jiwa-jiwa yang ingin bebas. Aku ingin bertemu dengan sesama pencinta teater, sesama orang yang bergairah tentang keadilan, tentang pembebasan perempuan dan bertemu sesaat dengan cinta yang menggelora di sana. That’s all.

Akan tetapi, untuk seseorang yang berasal dari negeri dunia ke- tiga, negeri di mana telah di jajah ratusan tahun, sebuah nengeri dengan “cap miskin” adalah tidak mudah. Bangsaku adalah negeri yang masuk dalam katagori “untuk selalu ducurigai” setiap warganya yang akan pergi ke negeri-negeri yang menguasai dunia (apalagi kalau bukan imperialisme?)

Pemikiran ini sangat gampang untuk dilihat. Apabila anda adalah dari negeri-negeri (bekas) penjajah atau dianggap maju secara ekonomi, tidak membutuhkan visa untuk memasuki negeri-negeri lain. Orang Australia, Amerika, Eropa, dengan mudah keluar masuk negeri-negeri lain, bukan? Warga bangsa-bangsa ini tidak perlu mengisi form untuk memperjelas stautus mereka, tidak perlu mengatri berjam-berjam untuk di wawancarai dengan pertanyaan-pertanyaan penuh kecurigaan dan kesombongan. Warga bangsa ini mempunyai privilege untuk menghirup udara dunia!

Dua contoh protret kontradiksi yang sangat sederhana. “Miskin-Kaya”. “Hitam-Putih”, yang berimplikasi pada perlu tidaknya “Kartu jimat/visa” untuk memasuki negeri lain.

Dengan gamblang contoh kongkret sederhana ini semakin mempertajam watak dunia sekarang. Mengapa jutaan warga bangsa dari negeri-negeri neoimperialisme semakin berbodong-bondong ke kota-kota dunia yang mendominasi hajat hidup warga dunia? Amerika, Inggris, Perancis, Australia…. Hal ini disebabkan oleh ketimpangan system hidup dunia yang tidak adil. “Di negeri Utara, denyut raksasa ekonomi menggelora. Di negeri Selatan, warga bangsa masih hidup dengan upah 1-2 dollar perhari!!!”.

Dalam pandanganku semua warga bangsa berhak mencari kehidupan di manapun ia mau. Impian Lennon pada tahun 1960 an, tentang dunia yang “sama rata sama rasa” rasanya memang muncul dari kegelisahan yang di rasakan jutaan orang di dunia.

Dalam kenyataannya dunia yang yang kita huni memang berbalik dari impian Lennon itu. Dunia yang kita huni sekarang adalah dunia yang penuh kekerasan, kecurigaan, kemiskinan, kitiadka adilan, kelaparan.

Namun demikian, aku masih selalu diliputi kegaraiahan bahwa dunia di lain sisi banyak harapan kebaikan dan keindahan. Musik abadi tentang keadilan masih selalu terdengar di setiap sudut negeri. Gairah warna solidaritas sesama warga bangsa masih terlukis di setiap kanvas jalanan. Denyut nafas cinta masih menggelora di setiap detak jantung anak-anak negeri. Inilah mimpi anak semua bangsa dan harapan negeri semua orang.

Pada akhirnya akupun ingin mengutip kalimat indah dari Kant, filsuf abad 18 yang sudah mampu menjahit pemikiran brilian “Sapere Aude! [dare to know] “Have courage to use your own understanding!”–that is true of enlightenment!

Akupun mempunyai keberanian dengan pengertianku sendiri, bahwa tindakan diskriminasi adalah tolol. Menghumiliated sesama manusia adalah sama saja kita melemparkan diri ke lorong kegelapan manusia. Sekali lagi: “ Sapere Audeu!”. Have courage to use your own understanding! Dare we to say “ Its time to sharing all the world?”

Singapore, 27 August 2008.