Faiza Mardzoeki

CERITA DARI DOLLY -TALES FROM DOLLY

Cerita dari Dolly

Siapa Sesungguhnya yang PELACUR?

Faiza Mardzoeki

Perempuan-perempuan itu sudah tidak dimanusiakan lagi. Perempuan-perempuan itu sudah diubah esensinya sebagai manusia menjadi barang peliharaan, dikurung sebagai barang milik para germo dan dijual sebagai barang dagangan kepada para lelaki dan dianggap sampah oleh masyarakat. Bukankah demikian yang terjadi? Siapakah sesungguhnya yang pelacur? Merekalah para germo, calo, laki-laki pembeli tubuh perempuan dan agen-agen lain yang menindas, merampas kemerdekaanya dan memanfaatkan tubuh perempuan-perempuan itu.

Pada pertengahan bulan Februari 2009, saya mengunjungi Dolly, daerah pelacuran di Surabaya, Jawa timur. Dolly juga dikenal sebagai daerah pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Kunjungan singkat selama 5 hari, adalah dalam rangka melakukan riset awal persiapan penulisan naskah drama tentang pelacuran Dolly.

Dolly tepatnya terletak di kawasan kelurahan Putat Jaya, kecamatan Sawahan, kota Surabaya. Surabaya sendiri dikenal sebagai kota terbesar ke dua di Indonesia dan dikenal sebagai kota industri dan pelabuhan.

Dolly sebenarnya merupakan bentangan jalan kurang lebih sepanjang 150 meter dengan lebar 5 meter dan beraspal bagus, hasil dari Proyek Perbaikan Kampung pada tahun 1977. Dolly dikenal sebagai daerah lampu merah “kelas menengah” . Tidak jauh dari Dolly (bersebelahan) ada jalan Jarak, yang dikenal sebagai lokasisasi pelacuran “kelas bawah-miskin”.

Jauh sebelum saya berkunjung ke Dolly-Jarak itu, saya sudah sering mendengar kabar berita seputar Dolly sebagai daerah pelacuran, bahkan menjadi “Ikon” kota Surabaya. Sedangkan Jarak, saya nyaris tidak terlalu mendegar beritanya. Dolly-lah nama yang lebih terkenal itu.

Kunjungan riset awal ini ditemani orang kawan, Vivi. Atas bantuan Vivi ini, saya dikenalkan dengan seseorang bernama S, seorang lelaki mantan mucikari. Namun, atas kesadarannya sendiri S berhenti sebagai mucikari dan berbalik menjadi pekerja sosial dengan mendirikan perpustakaan untuk anak-anak di lokalisasi kawasan Jarak. S juga mengadvokasi kasus-kasus kekerasan atau mengikuti penyuluhan kesehatan bagi penghuni Dolly-Jarak. S ini yang kemudian menjadi “pengawal” saya selama di kunjungan itu.
Tanpa pengawal atau teman dengan orang yang sudah dikenal di daerah lampu merah ini, jangan harap mendapatkan informasi atau bisa memasuki kawasan itu dengan ringan. Gali-gali (gabungan anak liar) bergentayangan mengamankan seputar Dolly-Jarak. Mereka ini yang akan mengawasi kalau-kalau ada orang asing yang mencurigakan.

Berebut menggali untung dari tubuh perempuan

Jarak
Pada hari pertama tiba di Surabaya, kami langsung menuju jalan Jarak (Putat Jaya), janjian bertemu dengan S. Kami bertemu dengan S di sebuah warung nasi kecil (warteg) terletak di pinggir jalan. Dalam perjalanan menuju tempat pertemuan itu, kami melewati gang dengan kanan-kiri tempat bordil-bordil miskin (dikenal dengan sebutan wisma) Suara musik dangdut menggema keras. Biasanya musik mulai berdentum dari pukul 10 pagi hingga jam 2 atau 3 dini hari. Saat itu hari baru menunjukan pukul 2 siang, suasana bordil belum terlalu hidup. Hanya irama dangdut menemani beberapa laki-laki yang lebih suka duduk di dalam, sementara para perempuan, lebih terlihat suka duduk-duduk di depan bordil, sambil berbincang dengan teman-temannya. Hampir setiap bordil nampak minimal 2-3 perempuan menggerombol di depan. Usia mereka nampak antara 20 an, 30 an dan 40 an. Sesekali terlihat anak-anak kecil dan pedangang yang lewat. Di antara bordil ini ada juga yang rumah biasa, rumah yang dihuni oleh rumah tangga. Deretan bordil itu nampak suram dan gelap. Gang yang membelah kanan kiri deretan bordil itu sempit, hanya muat untuk 3 orang berderet.

Sekitar jam 3.30 sore kami bertemu S, lelaki berusia sekitar 50 tahun. Sambil menyeruput kopi tubruk kami berbincang seputar Dolly-Jarak. S cerita, bahwa banyak pihak terkait dengan keberadaan lokalisasi pelacuran tersebut. Tidak jauh dari lokalisasi ada masjid, rumah yatim piatu, rumah penduduk, toko-toko, warung nasi, tempat cuci, tempat parkir dan segala kegiatan yang menandai sebuah kehidupan urban pinggiran. Si pemilik warung, perempuan berusia sekitar 30 an tahun juga ikut berbincang dengan kami. Menurut pemilik warung, ia tinggal di daerah Jarak sejak kecil. Selama bertahun-tahun ia bertemu dengan beragam orang dari latar daerah yang beda dan cerita hidup yang beda. Orang-orang yang lalu lalang ke warung atau melintas di depannya nampak normal-normal saja, seperti layaknya sebuah warung. Sempat terlintas dalam benak saya “masyarakat bisa hidup berdampingan dengan tentram, padahal di komplek pelacuran”. Di daerah tertentu, lokalisasi pelacuran “dijauhi” penduduk biasa. Tapi di Jarak dan Dolly, campur aduk. Artinya penghuni kawasan ini cukup mempunyai rasa solidaritas yang tinggi?

Hari ke dua, saya lebih dalam memasuki kawasan Jarak. Kami sempat berbincang di perpustakaan yang dikelola S. Perpustakaan itu menempati sebuah rumah, dengan seorang Ibu dan anak kecil. S menyewa satu ruangan untuk menempatkan buku-bukunya dan satu kamar lagi untuk kantor sekaligus sebagai kamar tidurnya. Dari ruangan itu S bekerja. Menurut S dahulu rumah tersebut sebenarnya juga disewakan sebagian untuk dijadikan bordil, menyatu dengan kehidupan “normal” pemiliknya.

S mengatakan, di daerah Jarak memang banyak sekali rumah-rumah penduduk yang disewakan untuk dijadikan rumah bordil. Di antara mereka yang tadinya hanya menyewakan lama-lama ada yang “naik pangkat” menjadi germo juga. Atau orang lain menyewa rumahnya untuk dijadikan rumah bordil. Karena marak rumah-rumah bisa disewakan, seorang germo biasa menyewa 2 -3 rumah untuk dijadikan bordil. Menurut catatan S, tercatat ada sekitar 56 rumah bordil dengan 2500 pekerja sex perempuan di Jarak saja. Belum termasuk yang di Dolly.

Dalam catatan hasil riset Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam bukunya “Dolly-membedah dunia pelacuran Surabaya dan kompleks pelacuran Dolly”, Grafity Pers, 1982 bahwa izin mendirikan bordil itu diperoleh dari kepolisian dengan menyebut izin mendirikan warung kopi yang dilayani perempuan-perempuan. Tidak mengherankan, bordil-bordil itu selalu ada.

Pada siang sampai sore, kehidupan terasa biasa. Banyak pedangan lewat, para perempuan berbincang di depan. Yang membedakan dengan kehidupan normal lain adalah dentuman irama dangdut, sesekali ada alunan pop yang sangat keras.

Saya sempat diwarkan untuk menyewa kamar di salah satu milik penghuni Jarak yang juga memiliki rumah bordil dan sekaligus menjadi germonya. Sekilas keluarga germo sangat biasa. Mereka ada suami istri. Di ruang tamu terlihat sebuah foto dipajang, berpakaian polisi. Rupanya itu foto anaknya yang berprofesi sebagai polisi. Kami naik ke lantai atas di mana ada kamar yang akan disewakan itu. Ruangan itu tidak terlalu luas, berukuran sekitar 3×3 meter dan ber AC. Kami berencana mau nginap di ruangan itu selama 3 malam, supaya bisa mendengarkan nafas kehidupan Jarak lebih dekat. Setelah harga deal, yaitu 300 ribu permalam, kami pergi, kembali menyusuri Jarak. Tapi, Esoknya kami batal menginap di rumah bordil itu, karena saya sempat terserang rasa pusing dan muntah-muntah. Masuk angin dan sedikit stress, marasa capai. Saya dan Vivi menginap di rumah seorang teman di daerah Bungur, kira-kira 45 menit menggunakan taxi ke arah Dolly.

Malam hari, kami menyempatkan diri nongkrong di rumah bordil pemilik kamar yang tadinya akan kami sewa itu. Seorang perempuan muda, bertubuh agak gemuk dari Madura menemani kami. Saya menaksir umurnya baru 20 an tahun. Menurut S, perempuan muda ini adalah primadona di bordil ini. Ia menemani kami minum bir. Ia terkesan pendiam dan sulit saya ajak bicara dan nampak pemalu. Seiring malam yang kian larut, bersama botol bir yang terus bertambah, akhirnya perempuan ini membuka juga percakapan. Ia cerita, pada saat minggu pertama bekerja di bordil itu, ia sempat muntah-muntah hampir 3 hari ketika latihan minum bir. Sang germo memaksa harus bisa minum bir dan memaksa para tamu untuk terus membeli botol-botol bir dengan cara terus menerus menuangkan bir ke gelas dari botol-botol bir itu sambil menemani ngobrol. Di luar harga bir, kami harus membayar ke perempuan yang menemani ngobrol dan menuangkan botol-botol bir ke dalam gelas kami seharga Rp 50.000. Harga bir di bordil ini bisa 5 x lipat harga normal.

Perempuan dari Madura bernama Sri (bukan mana sebenarnya) sempat cerita bahwa dirinya punya anak satu, ditinggal suaminya. Ia harus menghidupi keluarga dan anaknya di kampungnya. Di ruangan pengap itu tampak tamu-tamu lain, semua laki-laki menenggak bir berbotol-botol, sambil main gaple, main karaoke dengan musik yang begitu keras dan ditemani para perempuan. Biasanya akan berujung pada transaksi sex.
Kata S, rata-rata pengunjung bordil itu adalah supir taxi dan kaum miskin lainya. Semalam mereka bisa menghabiskan Rp 300.000 untuk sex dan minuman.

Keheranan yang cukup besar menghinggapi perasaanku. Bagaimana orang-orang miskin itu mampu membelanjakan uang sampai Rp 300.000 sekali berkunjung ke pelacuran??? Tidak heran, sering terdengar kisah kekerasan melanda rumah tangga jika sang suami lebih suka membelanjakan uangnya di rumah-rumah bordil. Para suami melupakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap keluarga, akibatnya konflik terjadi dan bisa berukujung pada kekerasan.

Terlihat pula para pedagang bebas memasuki rumah-rumah bordil menawarkan makanan. Ada tukang sate atau tukang gorengan. Rupanya di rumah bordil tidak menyediakan makanan berat. Bordil hanya menyediakan minuman dan makanan kecil seperti kacang goreng.
Hal lain yang menarik perhatianku adalah plakat tulisan “Anggota ABRI di larang masuk” menempel di dinding-dinding bordil.

Namun, dari hasli penelitian Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam bukunya berjudul “Dolly”, tahun 1982, sebenarnya banyak sekali oknum-oknum militer yang bergentayangan dan menjadi backing para germo atau rumah bordil. Untuk itu para aknum militer ini mendapat imbalan dari para germo tersebut.

Bordil di Jarak tidak memajang perempuan-perempuan itu di dalam satu ruangan seperti aquarium. Perempuan-perempuan di Jarak nampak lebih “bebas”, bisa duduk dan berkaraoke menemani tamu-tamunya untuk kemudian dibooking ke kamar atau hanya sekedar menemani saja.

Dolly
Memasuki Dolly pada sore hari menjelang malam, gemerlap lampu warna warni mulai menyala sepanjang jalan. Terlihat banyak lelaki berbaju batik di depan bordil-bordil Dolly. Para lelaki itu adalah para “kenek”, yang mencari ribuan laki-laki yang lalu lalang berjalan di sepanjang Dolly ini. Para kenek berbatik itu mencari pembeli seperti kenek di terminal mencari penumpang. Untuk pekerjaan ini, para kenek ini mendapatkan Rp 7.000 apabila berhasil mendapatkan laki-laki masuk ke bordilnya.
Bordil-bordil dengan sebutan santun, wisma, ini berderet-deret tampak megah dan terbuka, memajang para perempuan yang siap bekerja melayani para “petualang sex” dan pemimpi keperkasaan. Hampir semua bordil mendesain ruangan nyaris sama. Salah satu Bordil memasang nama mentereng “Wisma Nusa Bangsa”.

Jumlah bordil di jalan Dolly ini sekitar 56 an. Rata-rata setiap bordil mempunyai perempuan yang siap dilacurkan sekitar 20 orang. Artinya Di Dolly saja ada sekitar 1000 perempuan yang dilacurkan. Mereka berasal dari berbagai pelosok desa di Jawa hingga luar Jawa. Jumlah ini belum termasuk yang berada di luar 2 lokasi (Jarak dan Dolly). Sebenarnya, tidak jauh dari Jarak dan Dolly, terdapat banyak terdapat gang dan jalan-jalan yang dipakai sebagai lokalisasi pelacuran dengan kamulfase salon, karaoke dan tempat pijat. Kulihat sekilas, jumlah perempuan yang berada di tempat-tempat ini, tidak jauh beda dengan kerumunan yang berada di Dolly.

Menurut S, data terakhir tahun 2008, jumlah perempuan yang dilacurkan di Dolly-Jarak dan sekitarnya hampir mencapai 8000 orang.

Dilengkapi dengan bar yang penuh minuman, sofa dengan warna menyolok membentuk huruf L atau U untuk penempatan para perempuan dan papan nama-nama minuman (bir) terpasang di setiap depan bordil. Plakat bertuliskan “Anggota ABRI dilarang masuk” menjadi “ornament” wajib di setiap bordil di Dolly ini.

Para perempuan diharuskan dandan penuh dengan berbedak tebal dan berlipstik menyala di bibirnya. Mengenakan pakaian terbuka sejenis tanktop, rok mini dan sepatu ber hak tinggi. Kebanyakan berambut panjang dan lurus. Mereka duduk dengan kaki-kaki disilangkan, setia berdiam diri, sambil sesekali memainkan HPnya (seperti ber SMS-an) menunggu “dibeli”.

Bersama teman dan petunjuk jalan yang mantan mucikari itu, kami masuk ke bordil yang paling terkenal dan paling mahal di Dolly, namanya wisma “B”. Menurut S dan orang di Dolly, wisma B ini milik seorang yang sudah berkali-kali naik haji. Dulunya, sebenarnya hanya seorang calo, menanjak jadi germo dan memiliki bordil megah dan memiliki perempuan-perempuan yang siap dilacurkan dengan harga paling mahal di kawasan Dolly. Kenapa bisa memasang harga paling mahal? Konon karena perempuan di bordil B ini cantik-cantik dan berkelas. Entahlah. Kulihat para perempuan itu berdandan seragam. Tanktop, rok mini, rambut lurus, make up tebal dan sepatu atau sandal berhak tinggi. Semua nampak cantik dan mata hatiku menangkap mata yang kuyu dan jiwa yang lelah. Kaki-kaki mereka duduk seragam, menyilang. Mereka duduk berderet di sofa di balik kaca dengan lampu terang sehingga memungkinkan mereka terlihat jelas dan gampang dipilah-pilah. Mereka setia penghadap para pengunjung yang duduk-duduk di depannnya. Saya menghitung jumlah perempuan yang dipajang itu ada 22 orang.
Kami duduk-duduk memesan beberapa botol bir, memperhatikan para pengunjung.

Di Bordil B ini 100% laki-laki kecuali saya dan temen saya, dan pedagang makanan, ibu tua yang berumur 50 tahun, menggendong makanannya menawarkan ke para perempuan yang gelisah dan capai menunggu dibeli. Para pengunjung laki-laki konsentrasi memperhatikan deretan perempuan dari keremangan kursi. Beberapa kulihat tangannya menunjuk kearah perempuan sambil berbisik kepada calo di sampingnya. Kelihatan sedang sibuk memilih mana yang bakal dibeli.

Para perempuan di Dolly ini “dibandrol” dengan tarif perjaman. Dari perbincangan kami dengan S, setiap kali tamu masuk ke kamar, mereka dicatat pada sebuah buku, dicatat jam masuk dan nama perempuan yang dipilih. Kelebihan waktu maximal hanya 10 menit. Di Dolly rata-rata perjamnya Rp 85.000, sedangkan untuk bordil termahal itu, tarifnya sampai Rp 300.000 perjam.

Melihat angka-angka rupiah dalam lingkaran kerja pelacuran ini sangat fantastis. Tidak heran apabila bisnis pelacuran kian merambah dan terus ada. Kemiskinan di satu sisi telah mendorong para perempuan terpaksa bersedia dilacurkan, di lain sisi menciptakan kekekayaan baru bagi si pengedali “kekuasaan pelacuran”. Dalam situasi ini, perempuan si subyek utama bisnis ini justru berada di titik nol. Dinistakan dan diperas sampai ke keringat keringnya.

Ini Tubuhku, Dolly!

Keberadaan pelacuran Dolly dan Jarak telah membuat denyut roda ekonomi berputar ke segala penjuru, mengalir ke desa-desa asal perempuan, pungutan untuk RT, RW, Lurah, kecamatan, sampai ke tukang parkir. Lahan kerja untuk tukang cuci, pedagang makanan kaki lima, tukang salon, tukang pedagang keliling kredit baju make up, dan cara ngeruk untung untuk para germo, penyewa bordil dan calo-calo.

Menurut Yuyung Abdi dalam bukunya “Sex for Sale, tahun 2007”, satu bordil permalamnya bisa mendapatkan omzet sebesar Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Dengan rata-rata satu bordil memiliki 20 perempuan, dengan harga Rp 85.000. Para perempuan ini sedikitnya dalam semalam harus bekerja melayani 6 laki-laki. Pembagian hasil keringat perempuan ini adalah sbb: 40: 60. Masuk ke si perempuan Rp 35.000, Rp. 40.000 masuk ke germo dan Rp 10.000 untuk para pekerjanya, termasuk para kenek itu.
Jadi dalam semalam perempuan apabila melayani 6 laki-laki ia mendapatkan uang sebesar Rp 210.000 (Rp 35.000 x 6 orang), Germo mendapatkan Rp 4,8 juta (kalau dapat tamu 120 orang permalam x 20 perempuan) sedang yang masuk ke kas buruh bordilnya adalah sebesar Rp 1, 2 juta. Bandingkan berapa yang diterima oleh si perempuan-nya. Dari hasil jerihpayahnya sebesar Rp 210.000 permalam ia harus menyewa kamar kost, membeli makanan dan kebutuhan sehari-hari, baju sexy, make up dan harus nabung untuk keluarganya.

Para germo itu juga harus membayar iuran ke Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan). Sehari Muspika bisa menapatkan Rp 1,4 juta dari keberadaan rumah-rumah bordil. Jadi dalam setahun bisa meraup pendapatan Rp 504 juta!

Keuntungan, uang yang didapat berangkat dari satu hal: tubuh perempuan. Tubuh Perempuan inilah “alat produksi” utama industri pelacuran itu. Persoalannya Perempuan si “pemilik modal utama” itu, berada dalam posisi yang sangat lemah posisi tawarnya dan rentan dengan kekerasan. Perempuan yang dilacurkan ini tidak otonom atas tubuhnya. Dalam situasi ini, germo dan pembelilah (laki-laki) yang memiliki kekuasaan atas tubuh perempuan, sementara perempuan-perempuan ini juga harus menghadapi situasi rawan kekerasan demi memenuhi keinginan germo dan para pembeli (laki-laki)

Rantai kekerasan yang dialami oleh Perempuan yang dilacurkan…

Selama ini, masyarakat berkecenderungan menuding “perempuan pelacur” sebagai biang kerok kebobrokan masyarakat, bahkan dianggap sampahnya masyarakat. Tetapi masyarakat lupa mempertanyakan sampai ke dalam intinya, bagaimana perempuan itu bisa menjadi pelacur. Masyarakat melupakan ada agen-agen yang menyebabkan perempuan terseret ke arus pelacuran. Di dalamnya banyak pihak terkait, menyetujui dan membiarkan bahkan mengambil keuntungan dari para perempuan ini.

Sekarang ini, atas kesadaran sendiri, kaum sebagian perempuan yang bekerja sebagai pelacur penyebut diri sebagai “Pedila”, singkatan dari Perempuan yang dilacurkan. Istilah ini mengadung kesadaran bahwa ada agen-agen lain yang menyebabkan dirinya bekerja sebagai pelacur, bahkan dipaksa atau terpaksa menjadi pelacur.
Untuk itu, sayapun menggunakan sebutan perempuan yang dilacurkan, karena saya menyakini bahwa ada pihak lain, agen lain yang menyebabkan ada perempuan bekerja sebagai pelacur.

Saya percaya, bahwa perempuan sebagai manusia juga berhak dan ingin menjadi manusia. Bebas, merdeka dan bermartabat, setara dengan manusia lain, baik laki maupun perempuan.

Mengapa perempuan bersedia dilacurkan? Banyak riset mengatakan bahwa faktor kemiskinan menjadi pendorong utama para perempuan itu terseret dalam arus perdagangan sex. Faktor lain adalah budaya patriarki yang masih bersemayam dalam sistem masyarakat kita. Sehingga, dalam situasi kepepet itu, perempuan adalah “properti” yang paling mudah untuk dijinakan. Banyak kisah seorang Ayah menjual anak-anak gadisnya kepada para calo untuk dijual ke germo-germo di Dolly.

Menurut S, perempuan itu diambil oleh para calo ke desa-desa, dengan membayar kepada orang tuanya sekitar Rp 2.000.000 s/d 5.000.000 per orang kepada orang tuanya. Calonya sendiri akan mendapatkan Rp 1.000.000 s/d 2.000.000 per orang. Uang tersebut (uang untuk si orang tua dan si calo) berasal dari calon germo si perempuan. Ketika perempuan itu sudah sampai di lokalisasi pelacuran dan siap bekerja, jumlah uang untuk orang tua dan calo langsung dibebankan kepada si perempuan. Beban itu disebut: Hutang. Selain hutang untuk orang tua dan calo, perempuan itu juga akan dikenakan uang makan, uang penginapan dan kebutuhan lain, yang dipinjami terlebih dahulu oleh sang germo. Jadi, perempuan itu sudah menanggung hutang jutaan sebelum ia bekerja.
Pada detik ketika ia dipanggil oleh ayahnya untuk menemui calo, perempuan itu telah dirampas kebebasan dan harga dirinya. Ia harus menanggung beban kemiskinan dan kekuasaan ayah.

Di lokalisasi, tempat ia terpaksa harus menyerahkan tubuhnya, ia sudah menanggung hutang dan apapun keinginan germo dan pembeli. Situasi inilah yang menjerat perempuan yang dilacurkan itu sangat kesulitan terbebas dari pekerjaan “melacurkan diri” itu.
Di samping hutang yang ditanggung, ia harus menjalani “lompatan budaya” secara drastis. Misalkan, tiba-tiba ia harus akrab dengan minuman beralkohol (bir dll). Ingat cerita Sri yang sudah kutuliskan di atas, perempuan asal Madura itu harus muntah-muntah 3 hari karena dipaksa oleh germonya latihan minum bir. Selain harus minum yang bukan kebiasaanya, tiba-tiba ia harus berdandan tebal, berpakaian terbuka, mengikuti aturan “mana yang sexy” menurut si germo demi untuk bisa memuaskan pembeli, dan tentu harus melayani sex dengan laki-laki yang tidak dikenal. Ia harus membuang jauh emosi yang bersemayam dalam dirinya. Perempuan-perempun itu sudah tidak dimanusiakan lagi secara utuh.

Tidak ada pelindung bagi perempuan yang dilacurkan itu. Tidak dari masyarakat apalagi pelindung formal dari pemerintah. Yang ada preman-preman dan gali-gali yang bergetayangan mengamankan dan melindungi germo.

Kemana perempuan-perempuan itu mengadu apabila mengalami kekerasa sexual, mengalami pemerasan dari orang tua, germo, calo dll?

Perempuan-perempuan itu sudah tidak dimanusiakan lagi. Perempuan-perempuan itu sudah diubah esensinya sebagai manusia menjadi barang peliharaan, dikurung sebagai barang milik para germo dan dijual sebagai barang dagangan kepada para lelaki dan dianggap sampah oleh masyarakat. Bukankah demikian yang terjadi? Siapakah sesungguhnya yang pelacur? Merekalah para germo, calo, laki-laki pembeli tubuh perempuan dan agen-agen lain yang menindas, merampas kemerdekaanya dan memanfaatkan tubuh perempuan-perempuan itu.