Faiza Mardzoeki

Menampar muka: pertaruhan kaum perempuan Indonesia

Film Dokumenter PERTARUHAN

Menampar muka: pertaruhan kaum perempuan Indonesia

Faiza Mardzoeki

Air mata jebol juga dari kedua bola mataku, setelah menahan sesak di dada sepanjang hampir 2 jam. Tidak banyak, tetapi cukup membawa hatiku kepada suasana gundah, sedih dan marah. Teraduk-aduk. Itulah detik akhir menyaksikan film dokumenter karya lima sutradara muda Indonesia berjudul PERTARUHAN.

Memang, menonton film ini saya menjadi sangat emosional. Marah, bahwa situasi perempuan Indonesia masih banyak banget yang belum memperoleh akses keadilan yang layak. Bawah Perempuan Indonesia masih dikontrol dari segala lini, dari ruang privat sampai ke ruang publik. Kita melihat bagaimana masih banyak para ulama, pemikir Islam, dokter jadi “hakim moral” kaum perempuan, bahkan.

Dan ternyata semakin diperkuat diskripsi film itu dengan kenyataan bahwa presiden SBY dan hampir semua partai di DPR sudah meloloskan UU anti Pornografi, yang jauh sebelumnya sudah banyak ditentang oleh masyarakat karena secara substansi justru tidak melindungi perempuan dan anak, tetapi justru banyak mengontrol tubuh perempuan (negara intervensi terhadap urusan tubuh perempuan). Menurut anggota DPR dari F-PKB, Nursyahbani Katjasungkana, UU ini tidak memenuhi tiga tujuan yang diumumkan sebagai tujuan utamanya, yaitu memerangi kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui eksploitasi tubuh perempuan dan anak, memerangi dominasi yang mengeksploitasi perempuan, anak, dan kelompok minoritas, serta memerangi budaya penundukan yang menjadikan perempuan dan anak sebagai obyek (kompas 30 Oktober 2008)

Di sisi lain, saya begitu terharu dan bangga, bahwa perempuan-perempuan yang mengalami korban ketidakadilan dan ketimpangan kekuasaan laki perempuan itu begitu kuat, tabah dan positif menatap masa depan. Dengan segala keterbatasannya dan ketidak perdulian dari mereka yang seharusnya bertanggung jawab, para perempuan itu berjuang merawat dan membesarkan anak-anaknya.

Secara data dan bacaan, apalagi saya yang juga telah bergumul dengan gerakan perempuan, gambaran ketidakadilan perempuan dan ketimpangan relasi sudah banyak beredar dan nampak di depan mata kita. Tetapi dengan menonton film PERATURUHAN ini, saya merasa ditampar muka, bahwa perjuangan perempuan masih panjang dan butuh kerja keras lebih. Apabila kita menyaksikan kemiskinan, ketidakadilan, kita tidak bisa sekedar menaruh belas kasihan. Para tokoh yang ada dalam film dokumenter tersebut tidak meminta belas kasihan dari kita. Sungguh, mereka orang-orang yang hebat menjalani hidup dengan kesadaran tanggung jawab atas hidup dirinya dan orang lain. Yang seharusnya malu, adalah kita, kalian yang merasa tahu atas tubuh dan kondisi perempuan; yang merasa lebih mengerti atas situasi perempuan miskin. Para pemimpin, ulama, dokter, pembuat kebijakan, anggota DPR, politisi, aktivis gerakan sosial yang seharusnya lebih bekerja keras lagi dan benar-benar memperjuangkan kesetaraan dan keadilan. Ya,inilah salah satu kekuatan visual. Memperkuat pengertian data-data yang kadang kering. Its time to get angry….and get more active…!

Pertaruhan

Pertaruhan (AT STAKE) adalah antologi dokumenter yang menceritakan empat kisah bertema politik dan wacana tubuh perempuan di Indonesia. Inilah film dokumenter Indonesia terbaik yang pernah kulihat selama dekade reformasi (jatuhnya rezim Soaeharto). Film ini diputar di Megablitz , Jakarta pada tanggal 10 Desember 2008, bertepatan dengan hari HAM sedunia khusus untuk pers dan sahabat Jurnal Perempuan. Sebelumnya film ini telah diputar di gala premier Jakarta International Film Festival ke 10 pada tanggal 8 Desember yang baru lewat.

PERTARUHAN adalah film produksi Kalyana Shira, diproduseri oleh Nia Dinata, sineas perempuan yang setia dengan tema-tema relasi gender. Kali ini Nia bekerja sama dengan di 5 sutradara muda Indonesia, yaitu Ani Ema Susanti, Iwan S. & M. Ichsan, Lucky Kuswandi dan Ucu Agustin. Kelima sutradara muda ini merupakan hasil dari keikutsertaan mereka di program workshop Project Change!2008, yang dilaksanakan oleh Kalyana Shira Foundation dan The Body Shop Indonesia. Workshop ini tidak hanya berkutat pada aspek tehnis pembuatan. film dokumenter, namun juga fokus pada issue kesetaraan gender.

Film ini saya sebut terbaik (dari yang pernah saya tonton) karena pada PERTARUHAN dengan sangat baik memberi informasi seputar posisi perempuan Indonesia, melalui soal “tubuh dan politik” dengan gaya tutur yang tidak membosankan dan informatif. Dari sisi pilihan angle kamera, gambar-gambar yang ditampilkanpun sangat hidup dan realis.

Kisah pertama berjudul “Mengusahakan Cinta” mengangkat potret dua perempuan buruh migran di Hongkong yang menjadi rusuh hatinya ketika hendak pulang ke kampung halamannya. Ruwati bingung karena calon suaminya di kampung curiga dirinya tidak perawan. Ruwati harus memilih antara keperawanan sebelum menikah atau kesehatan pada dirinya. Ia mempunyai sakit miom dan harus menjalani pemeriksaan internal pada vaginanya dan ia kuatir pemeriksaan itu dapat mengakibatkan kerusakan pada selaput daranya. Dalam kultur sebagaian besar orang Indonesia (laki-laki) perempuan harus masih perawan sampai menikah dan keperawananya hanya dipersembahkan kepada lelaki yang kelak mempersuntingnya. Ruwati memilih untuk sehat dan pergi ke dokter dan menjalani operasi. Namun, Terlihat dengan jelas, bagaimana si calon suami Ruwati yang curiga mengetahui bahwa calon istrnya melalukan peperiksaan pada vaginanya. Apakah betul ia berobat atau karena tidak perawan? Kisah lain, Perempuan bernama Rianti yang kebingungan menjelaskan kepada keluarga dan masyarakat tentang dirinya yang mempunyai hubungan cinta dengan sesama perempuan buruh Migran di Hongkong. Mereka begitu saling cinta, akan tetapi kuatir keluarga dan masyarakat tidak menerimanya. Namun Rianti dan pasanganya menjalaninya dengan santai dan penuh kasih sayang sembari bekerja keras di sebagai maid sambil terus membantu keluarganya dan menghidupi anaknya yang ia tinggalkan di desa. Kisah ini memotret bagaimana masyarakat, keluarga masih belum menerima pasangan sejenis.

Pada film ke dua, berjudul “Nona Nyonya”mengangkat kisa-kisah perempuan-perempuan muda untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksinya, antara lain dengan papsmear. Mereka menghadapi stigma dan cap perempuan tidak baik-baik karena memerikasa vaginanya. Pertanyaan pertama para dokter ketika mendaftar untuk papsmear adalah “ kamu Nona atau Nyonya? ”. “ Sudah Menikah apa belum?” Pertanyaan selanjutnya, apabila mereka menjawab dirinya masih Nona, terus bertanya, kok memeriksa papsmear, ini kan hanya untuk orang menikah. Kalau sudah papsmear berarti kau sudah tidak perawan dong, ibu kamu tahu nggak dll. Pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengontrol, ikut campur urusan privat perempuan dan bahkan memberi stigma perempuan tidak baik karena sudah having sex pra nikah. Dengan camera tersembunyi, salah satu perempuan muda merekam seorang dokter laki-laki yang memberi ceramah dan menyebut nama Tuhan berkali-kali karena mengetahui pasiennya masih nona dan sudah berhubungan sex dan menyebut si pasien dengan “Evil”.

Kisah ke tiga, berjudul “Untuk Apa?” tentang praktek sunat perempuan. Dari dokumenter ini, ketahuan deh, bahwa perempuan disunat (dipotong clitorisnya) karena kuatir perempuan bisa menikmati sexnya dengan baik, ketakutan perempuan mempunyai gairah. Ini terungkap jelas oleh pada lelaki yang notabene para kyai dan ilmuwan Islam. Dalam pandangan tradisi, seperti yang terjadi di Indramayu, melalui wawancara penari topeng Rasinah, bahwa perempuan yang tidak disunat akan dianggap perempuan jalang dan liar dan diolok oleh masyarakat. Padahal dari sisi kesehatan, seperti yang diungkapkan oleh dokter-dokter, tidak diperlukan sama sekali perempuan untuk sunat. Beda dengan lelaki, penis perlu disunat untuk alasan kesehatan. Nah, perempuan disuruh sunat untuk ngontrol tubuhnya (nafsu sex-nya). Dan ternyata di Indonesia masih banyak para kyai dan keluarga yang menyunatkan anak perempuannya ketika masih bayi atau saat masih kecil. Sebagian perempuan yang pernah disunat juga trauma karena kesakitan.

Film ke empat berjudul Ragat’e Anak, besutan Ucu Agustin ini yang bisa membobol pertahanan kemarahan dan kesedihan saya. Lebih dari 15 menit airmata merembes, kisah ini membuatku sangat emosional. Sedih, marah tentang ketidak adilan, sekaligus salut dan hormat kepada tokoh-tokoh perempuan di sini. Berjudul Ragat’e Anak (Biaya untuk Anak), megangkat kisah 2 perempuan miskin. Mereka janda ditinggal suami, mempunyai anak. Kemiskinan membuat ke dua perempuan itu, Nur dan Mira terpaksa menjadi pekerja sex dan dengan rela dihargai Rp 10.000. sekali main dengan para lelaki. Mereka bekerja, mencari lelaki miskin dan butuh sex di kompleks pekuburan Cina Gunung Bolo (Tulung Agung) di malam hari. Dalam semalam biasanya mereka memperoleh pendapatan berkisar Rp 20.000 s/d 50. 000. Artinya harus melayani 2 sampai 5 lelaki. Selain terancam kesehatannya, mereka terjerat oleh para kiwir-gendakan (pacar sementara, hampir mirip germo, yang menjadi teman hidupnya selama bekerja di lokalisasi dan sering memeras dan memukul) dan juga terancam oleh para polisi yang merazia. Apabila tertangkap mereka bisa masuk penjara dan tidak bisa membiayai keluarga dan anak-anaknya. Untuk menambah pemasukan uang, Nur dan Mia itu bekerja sebagai buruh pemecah batu.

Nur dan Mia tetap semangat bekerja dan berharap anak-anaknya tidak menjadi seperti dirinya. Ia sudah lelah menjadi pemecah batu, tidak mau menjual tubuhnya (apalagi dengan harga Rp 10.000). Tetapi kemiskinan membuat mereka harus tetap semangat bekerja.

Itulah protret kemiskinan yang mendera perempuan Indonesia. Inilah wajah para hakim moral yang sok tahu tentang tubuh perempuan. Begitulah para lelaki masih menuntut keperawanan perempuan. Perempuan dikontrol, dibiarkan sekaligus sebagai tumbal ketidakberesean pemerintah, pemuka agama, dan ketidak perdulian masyarakat.

Tidak salah kalau perempuan marah, lalu bangkit menolak dan segera aktiv memperjuangkan kea rah lebih baik. Sisters, Its time to get angry and get more active!

Untuk informasi lebih lanjut dan ingin nonton filmnya klik saja:

http://www.kalyanashirafound.org/pertaruhan/index.html