Faiza Mardzoeki

Ngobrol bersama Chantal Della Concetta

Chatty Chant: Faiza Mardzoeki

Menurut saya, karena masih banyak yang berpikir perempuan adalah warga negara kelas 2, posisinya tidak lebih tinggi dari laki-laki, dan berbagai argumen lain yang intinya menyepelekan perempuan. Dan yang paling menyedihkan, itu semua muncul bukan hanya dari mulut laki-laki, tapi dari mulut banyak perempuan.

Saatnya kita bicara dengan seorang feminis, Faiza Mardzoeki

Chantal (Ch): Mbak Faiza mengaku sebagai seorang feminis. Kenapa memilih menjadi feminis?

Faiza (Fz): “Buat saya menjadi feminis itu kebutuhan dan terjadi dari pengalaman. Ketika saya menyadari bahwa ada yang perlu diperjuangkan untuk perbaikan situasi dan perempuan, maka ia sudah jadi feminis. Sederhana, contohnya ketika kita, sebagai perempuan ingin sekolah, ingin mempunyai pendapat dan didengar yang sama seperti laki-laki, sebenarnya ia sudah jadi feminis. Atau, ketika saya tidak mau mengalami pelecehan seksual itu sudah sangat feminis. Feminis itu perempuan sehari-hari yg berjuang, bekerja untuk hak dan eksistensinya. Ia bisa seorang ibu, seorang mahasiswi atau apa saja.”

Ch: seorang feminis masih butuh laki-laki nggak?

Fz: “Maksudnya butuh laki? Sebagai Teman? Pacar? Suami? Atau Teman Tapi Mesra nih heheheh. Iya nih, sering ada stigma atau label, bahwa jadi feminis itu nggak butuh laki. Ini keliru. Bukan ini! Seorang feminis itu hanya ingin keadilan dan kesetaraan bagi perempuan dan laki. Terdengar sederhana, bukan? Tetapi ternyata sangat sulit sekali, misal dapat stigma dari masyarakat. Saya sendiri memilih punya pasangan hidup dan menikah (punya suami) dan sering tuh bekerja sama dengan baik perempuan maupun laki-laki. Dunia ini akan indah apabila perempuan dan laki itu bisa berbagi pikiran, tindakan dan perasaan dengan setara dan menghargai.”

Ch: Menurut Mbak, bagaimana peran istri dan suami yg ideal dalam berumah tangga?

Fz: “Saya menerapkan konsep perkawinan dengan pasangan hidup saya dengan prinsip adil setara dan saling dukung. Kami tidak memakai konsep kepala keluarga. Karena kami sama-sama punya komitmen sadar ingin membangun hidup bersama. Hidup bersama itu harus setara dan kerja sama. Saya percaya, kalau sudah meyakini kesetaraan dan kebersamaan, kita tidak akan menyakiti pasangan kita, istri atau suami kita.
Dan yang penting lagi, meskipun hidup bersama, suami istri tetaplah merupakan dua pribadi yang berbeda, masing-masing punya eksistensinya dan kita perlu menghargai masing-masing. Berdasarkan rasa cinta dan komitmen yang dibangun. Misalnya saya cinta dengan pekerjaan memproduksi dan menulis naskah teater, suami saya akan sangat menghargai, ia tidak boleh melarang ini itu. Sebaliknya saya sebagai istri, sayapun begitu kepada suami saya. Kami saling diskusi dan tukar pengalaman. Ini malah asyik, karena punya pengalaman yang berbeda, diskusi bisa jadi hidup dan bisa tetap saling belajar. Jadi kami tumbuh bersama sebagai pasangan suami istri. Suami istri harus bisa jadi teman seranjang dan seperjuangan hidup. Keduanya perlu berjalan bareng.”

Ch: Emansipasi perempuan, kesetaraan gender, masih menjadi isu yang relevan nggak dengan perkembangan saat ini di Indonesia?

Fz: “Masih sangat relevan. Meski kata emansipasi sudah didengungkan sejak abad 19 oleh Kartini, kebutuhannya masih sangat terasa. Akibat perjuangan emansipasi itu para perempuan bisa sekolah, jadi politisi, jadi ahli IT, jadi seniman dll. Akan tetapi masih banyak jutaan perempuan Indonesia lainnya yang harus bekerja ke luar negeri untuk menghidupi keluarganya (TKW) tetapi masih saja dianiaya dan tidak dilindungi hak-haknya. Masih banyak terjadi kekerasan di dalam rumah tangga dan juga kekerasan seksual. Relasi gender yang tidak setara di masyarakat, di segala bidang masih terjadi.”

Ch: Apa cara yg Mbak Faiza lakukan untuk terus menyuarakan kesetaraan posisi perempuan dalam masyarakat?

Fz: Saya menyuarakan persoalan-persoalan perempuan lewat pekerjaan saya yaitu menulis naskah drama dan membuat produksi teater. Hampir semua karya saya digerakkan oleh kesadaran ingin menyuarakan persoalan-persoalan perempuan. Saya juga terus mengikuti berita, baca buku-buku tentang sejarah perempuan dan aktif di diskusi perempuan yang membahas masalah-masalah yang terjadi di masyarakat seputar perempuan dan bangsa ini.

Berjaringan dengan beragam perempuan dan kelompok lainnya. Get active, Get involve, be brave 🙂 Jadi perempuan di Indonesia ini perlu keberanian extra. Soalnya di masyarakat kita itu banyak banget label dan kontrol untuk perempuan, dari pakaian lah, dari kontrol kapan kawin, kapan punya anak dll. ‘BERANI’ menjadi sangat diperlukan supaya kita bisa menyatakan pendapat dan pikiran kita.”

Ch: Kalau kodrat perempuan itu apa menurut mba Faiza?

Fz: “Saya hanya meyakini kodrat perempuan adalah menjadi manusia sama dengan manusia laki-laki. Apa yang selama ini sering kita dengar misalnya ‘kodratnya perempuan adalah dapur, kasur dan sumur’ mmmm itu mudah banget bisa dibantah. Dapur, Kasur dan Sumur dilakukan juga oleh laki-laki. Yang membedakan laki dan perempuan adalah kondisi biologisnya saja. Misalnya perempuan punya ‘V’ dan rahim, laki punya ‘P’. Tapi bahkan sekarang orang bisa ganti jenis kelamin dengan operasi, bukan?”

Ch: Kenapa akhirnya Mbak Faiza dan teman-teman memutuskan melakukan aksi rok mini?

Fz: Aksi ‘Rok Mini=Perempuan Menolak Pemerkosaan’. Itu nama aksi saya dan teman-teman. Aksi ini muncul sangat spontan ketika menyaksikan berita pemerkosaan yang dialami oleh perempuan di angkot, sementara pejabat publik justru menyalahkan perempuannya karena pakaian (jangan pakai rok mini supaya laki-laki tidak terangsang! Begitu pesannya). Lho apa hubungannya dengan perkosaan. Ini pemikiran yang sangat keliru. Pemerkosaan itu tak ada hubungannya dengan hasrat seksual. Pemerkosaan adalah kejahatan seksual/penyerangan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dengan hinaan, kekerasan dan kekuasaan (merasa lebih kuat, mampu menundukkan dll).

Kita sebagai perempuan sudah sangat sedih dan marah mendengar masih ada terus perempuan jadi korban perkosaan, eh… pejabat publik malah menyalahkan korbannya. Maka kami memutuskan berkumpul untuk bahas masalah tersebut. Ada lebih dari 20-an perempuan kumpul, dari latar belakang berbeda dan mendiskusikan bikin aksi untuk memprotes pernyataan pejabat publik itu dan menyerukan pesan “Jangan salahkan korban, salahkan pemerkosa”.

Kenapa pakai nama ROK MINI? Ini semacam merebut kembali hak berpakaian perempuan dan mau bilang bahwa Rok mini (salah satu pakaian perempuan) tak ada hubungannya dengan pemerkosaan. Kami berpendapat, kalau ada pernyataan pejabat publik ngawur dan membahayakan, warga harus menegurnya.”

Ch: Apa pesan penting dari aksi rok mini? Dan bagaimana setiap individu bisa berpartisipasi dalam gerakan ini?

Fz: Pesan penting Aksi Rok Mini adalah Jangan Salahkan korban perkosaan, salahkan pelakunya dan beri perlindungan bagi korban perkosaan, hukum pelaku perkosaan. Individu bisa aktif dengan gerakan ini adalah tak perlu takut menggunakan pakaian yang kita pilih, jangan takut marah kalau ada yang melakukan pelecehan seksual, lapor ke polisi atau teman terdekat, dan katakan kepada teman-temen terdekatmu, bisa dimulai dari saudara kita, bahwa jenis pakaian bukan penyebab terjadinya perkosaan.

Yang tak kalah pentingnya kita bisa memanfaatkan teknologi, social media macam FACEBOOK dan TWITTER untuk menulis pesan-pesan yang mendukung perempuan dan menyerukan untuk tidak menyalahkan korban. Bisa juga dengan obrolan sehari-hari dengan teman-teman kita.”

Ch: Apakah pemerintah sudah memberikan perlindungan yang baik bagi perempuan?

Fz: “Belum optimal sama sekali. Indikasinya masih banyak terjadi kekerasan yang dialami perempuan.”

Ch: Kalau tidak, lalu bagaimana cara terbaik kita menjaga diri?

Fz: “Jaga diri? Mungkin perlu belajar silat atau bawa hairspray, kalau ada yg mengganggu kita semprotkan saja ke muka pelaku atau tendang. Jangan takut laporkan setiap ada tindakan kekerasan yang dialami perempuan kepada teman terdekat atau polisi. Tetapi jaga diri perempuan tidak akan ada artinya apabila tidak ada perlindungan yang serius dari pemerintah dengan bikin mekanisme yang jelas dan sensitif gender. Pemerintah harus menerapkan sanksi tegas bagi pelaku-pelaku kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan.”

Ch: Siapakah atau apakah perempuan itu bagi mbak Faiza?

Fz: Menjawab pertanyaan ini buat saya ternyata sulit 🙂 Ini seperti pertanyaan apakah atau siapakah Indonesia itu? Karena kompleks banget dan luas. Gak sekedar perempuan yang mempunyai kelamin bernama vagina atau Indonesia itu terdiri dari pulau-pulau dan punya Pancasila.

Perempuan bagi saya, Ibu saya yang full time bekerja di rumah, adik saya yang single mother dengan dua anak dan tetap bekerja di luar, saya sendiri yang menikah, memilih tidak punya anak dan bekerja dan memilih aktif dengan gerakan perempuan, perempuan adalah jutaan TKW, perempuan adalah ribuan perempuan yang ada di Dolly Surabaya, Perempuan adalah para pengusaha, ahli, menteri, seniman, dan mereka-mereka yang masih mencari keadilan karena kekerasan yang dialaminya seperti kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dll. Perempuan juga adalah remaja-remaja berprestasi dan yang bertebaran di mall belanja-belanja. Perempuan bukan sekedar jenis kelamin, tetapi merupakan konstruksi sosial yang hingga hari ini masih terus mencari, bertumbuh dan berkembang di setiap jaman dan masyarakatnya.” (vem/bee)