Faiza Mardzoeki

Voices Of Human Rights Note on Nyai Ontosoroh (Ind)

Nyai Ontosoroh
Perjuangan Menuju Keberanian Melawan
16 Agustus 2007 – 17:48 WIB—VOICES OF HUMAN RIGHTS
Kurniawan Tri Yunanto

“Yang penting berani. Dan, jika kamu yakin ingin melakukan, lakukan saja.”

Pesan Pramoedya Ananta Toer itu menjadi pegangan Faiza Mardzoeki untuk mengusung beban berat novel Bumi Manusia ke pentas teater. Kalimat sederhana itu membantu memahami dan mendalami karakter Nyai Ontosoroh untuk dipentaskan.

Dalam Bumi Manusia, Nyai Ontosoroh yang nama aslinya Sanikem adalah sosok perempuan pribumi yang dengan gigih dan perih melawan tatanan sosial politik di era kolonial Belanda. Ketika baru beranjak remaja, kedaulatannya sebagai manusia dirampas oleh bapaknya. Dia dijual kepada Herman Mellema, Belanda totok yang punya kuasa harta.

Dalam penyerahan diri itu Sanikem belajar keras menyerap “ilmu Eropa” untuk membuka jalan terang masa depan. Perjuangan diam-diam itu membentuk pribadi yang kuat untuk zamannya. Terinspirasi kekuatan itulah Faiza berani mementaskan semangat perlawanan Nyai Ontosoroh ke panggung teater.

Apalagi tema perlawanan perempuan dalam novel awal dari tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca itu masih relevan dengan kondisi saat ini. Tetap saja terjadi kekerasan dalam rumah tangga, penindasan perempuan oleh struktur sosial, perdagangan perempuan, dan penindasan tenaga kerja Indonesia yang sebagian besar adalah perempuan. “Tujuan utama teater ini sebenarnya kampanye soal perempuan. Soal ketertindasan perempuan. Dan Ontosoroh telah berhasil melawan itu,” kata Andi K Yuwono, produser pentas Nyai Ontosoroh.

Rencana pementasan teater ini berawal pada tahun 2002, setelah Faiza mementaskan Perempuan di Titik Nol, adaptasi novel feminis Nawal El Sadawi. Sampai tahun 2004, niat ini hanya sebatas diskusi dengan beberapa kalangan. Selama dua tahun pergulatan itu tak melahirkan apa-apa. Saat di Australia, Faiza gelisah dan berpikir ulang untuk memanggungkan Nyai Ontosoroh. Dia pulang ke tanah air lalu kembali “bergerilya” dan berdiskusi dengan beberapa LSM, kelompok teater, dan seniman. “Saya bergerilya dan banyak sekali mendapat masukan. Hampir semua kalangan cukup bersemangat dan mendukung pementasan ini. Pertengahan 2005 saya mulai mencari tim,” ujar Faiza.

Dengan Andi, Faiza sadar proyek ini tidak bisa dilakukan sendiri, tapi harus melalui kerja kolektif. Akhirnya terjalin kerja sama dengan Perguruan Rakyat Merdeka, Perempuan Mahardika, serta Institute Ungu, dan menjadi motor penggerak pertama.

Persiapan pentas Nyai Ontosoroh menguras tenaga dan pengorbanan. Beberapa kendala muncul. Misalnya, 50 hari menjelang pementasan pada April lalu, sutradara Ken Zuraida mengundurkan diri. “Kami menerima saja, tapi dengan catatan proyek ini harus jalan. Karena prosesnya sudah sangat lama. Tentu saja pengunduran ini membuat kami down. Belum lagi biaya yang terpakai sudah banyak. Tapi sama sekali tidak menyurutkan niatan untuk memanggungkan Bumi Manusia,” kata Faiza.

Kenapa Ken Zuraida mengundurkan diri dari proses yang sudah berjalan? Menurut Andi, selama proses produksi memang sering terganggu komunikasi di antara sesama anggota tim.

Akhirnya tim menemukan Wawan Sofwan sebagai sutradara pengganti. Bersama sutradara asal Bandung ini, tim kerja mulai dari nol lagi. Riset mulai dilakukan. Misalnya pakaian untuk pentas. “Karena ini kerja agak mempertanggungjawabkan, mesti riset segala. Peristiwanya kan terjadi pada masa lalu. Sebagai desainer, saya harus tahu jenis kain yang kira-kira dipakai pada peristiwa itu,” kata Merdi Sihombing, fashion designer.

Tidak hanya keluar masuk pasar, Merdi juga berburu jenis kain yang mendekati di Pasar Klewer, Solo. Karena teater merupakan pengalaman pertamanya, Mergi juga mencari referensi melalui buku-buku dan beberapa film pada tahun 1903 yang mendekati peristiwa yang digambarkan Pram.

Dolorosa Sinaga juga mengaku bekerja keras untuk tata panggung. Meski penggambaran situasi dalam novelnya sangat realis, dia memilih konsep minimalis untuk tata panggung pentas teater ini. “Formatnya sangat minimalis, tidak pernah membayangkan setting ini akan menjadi sangat realis. Jadi, barang yang diperlukan di panggung, meja, kursi, tempat tidur, pengadaannya tidak perlu sama. Cukup mendekati saja,” ujarnya.

Sutradara Wawan Sofwan juga memerlukan riset mendalam. Dia tidak begitu saja menerima tawaran untuk menjadi sutradara. Dia mempelajari naskah Faiza dan membaca ulang Bumi Manusia. Akhirnya dia menerima tanggung jawab itu. “Pengorbanan yang tampak selama proses latihan adalah pengorbanan ego. Saya selalu bilang kepada seluruh pemain, ini kerja yang mengandalkan hati. Karena kita tidak dibayar untuk memanggungkan Nyai Ontosoroh. Jadi, harus dibarengi ketulusan. Itu yang membuat saya agak gemetar. Tapi akhirnya bisa terbangun,” katanya.

Wawan sadar, empat bulan waktu yang pendek. Apalagi dia menerima tawaran dalam kondisi pemain yang tidak sepenuhnya siap, baik dari sisi kebutuhan pemain maupun sisi skill pemain. Casting kembali dilakukan untuk mendapatkan karakter pemain yang pas. Secara umum dari 20 pemain yang terlibat tidak mempunyai dasar teater.

Karena naskah cukup fragmentatif, Wawan menemukan solusi untuk mengolah para pemain. “Ini kan terdiri dari 31 adegan. Ada 23 adegan tidak perlu latihan dengan melibatkan banyak pemain. Kalau adegan yang membutuhkan banyak pemain, biasanya dilakukan pada malam hari. Kalau Happy itu bisa dari pagi sampai malam.”

Tantangan terbesar dari 31 adegan ini adalah adegan flash back perjalanan hidup Sanikem kecil menjadi Nyai Ontosoroh. Sebab, menurut Wawan, esensi keseluruhan adegan adalah adegan flash back ketika awal perlawanan Ontosoroh. “Di situ harus ada titik temu, supaya antar-adegan bisa nyambung. Itu harus dilatih agar menemukan jembatannya.”

Yang tidak kalah penting pembentukan karakter Nyai Ontosoroh. Dalam novel, sosok karakter Ontosoroh sangat kuat sekaligus dingin dan sinis. Namun, dalam pentas ada beberapa adegan yang justru cenderung menunjukkan kelembutannya. Wawan mencoba melihat dari sisi ini. Karena sifat keras Nyai hanya muncul dalam persoalan tertentu.

Dalam proyek besar ini, menurut produser telah menghabiskan tak kurang dari Rp 500juta, publik ternyata lebih terfokus pada akting Happy Salma yang memerankan Nyai Ontosoroh. Meski baru pertama kali terjun di dunia teater, akting Happy cukup memberikan harapan. Pilihannya memerankan Nyai Ontosoroh rupanya tidak sia-sia.

Awalnya, setelah Ken mengundurkan diri dan terjadi kevacuman, Happy berencana ke Eropa. Namun dia memutuskan menunda setelah membaca naskah pentas dan Bumi Manusia kembali. Selama 2,5 bulan, dia bekerja ekstra untuk penghayatan dan menguasai dialog secara maksimal. Dia berlatih dari pagi hingga malam.”Ada di dialognya. Tiga jam dengan dialog panjang dan setiap dialog penting. Bahkan, sampai titik komanya, karena itu berpengaruh pada penyampaiannya. Jadi, memang butuh konstrasi lebih. Yang pasti 2,5 bulan aku total. Kerjaanku di TV aku kurangi. Setiap hari aku latihan,” tuturnya.

Pertunjukan tiga malam 12-14 Agustus itu dirasa sukses. Max Lane, yang menerjemahkan karya Pram ke bahasa Inggris, mengaku puas atas pentas Nyai Ontosoroh. Menurut dia, hampir semua pesan Bumi Manusia tersampaikan di panggung. Kita tidak akan sepenuhnya kalah kalau melawan, salah satu pesan yang sangat kuat dalam novelnya, sangat jelas dinyatakan di atas panggung bahwa melawan itu untuk membangun karakter.

Max mencontohkan, perempuan masih diperjualbelikan, kepentingan orang Barat lebih dipentingkan daripada hak penduduk Indonesia, praktik feodal masih berlaku, dan orang kecil tidak bisa berperkara di pengadilan. Namun, dia menyayangkan pesan yang tidak bisa dibaca secara langsung dalam buku Pram, tidak berhasil diungkapkan dalam teater. Pesan itu adalah Indonesia merupakan pembentukan manusia baru melalui perlawanan. Kalau pembangunan watak melalui perlawanan itu ditinggalkan, Indonesia akan bubar. Karena situasi Indonesia menuntut sebuah perlawanan

Menurut Max, Nyai Ontosoroh bukan tontonan orang malas, karena penonton dituntut konsentrasi, seperti halnya dengan novelnya. “Kalau orang masuk dan berpikir akan terhibur, itu salah. Karena orang nonton adegan ini, keluar pasti capek karena dituntut konsentrasi. Setiap kalimat mengandung makna. Karena jiwa dari sandiwara dan novelnya itu memang menuntut keberanian. Jangan mau menyerah dan harus melawan, baik melawan kekuasaan maupun situasi.”

Jadi, bila ada penonton serius yang belum menemukan keindahan dan pencapaian artistik sebuah teater dari pentas Nyai Ontosoroh, maaf saja. Karena muatan pesan lebih tampak mendesak-desak ke permukaan. Bahkan, gong penutup “Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” jadi kurang mencekam-dalam, karena “dihancurkan” terlebih dahulu oleh baliho besar kalimat itu di samping panggung. (E4)
Foto-foto: Kurniawan TY/VHRmedia.com
©2007 VHRmedia.com