Dalam rangka menyambut 16 Hari kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan Hari Hak Asasi Manusia, pada 25 November – 10 Desember 2020, Institut Ungu mengadakan kegiatan bertajuk ‘Dialog Seni dan HAM’.
Direktur Institut Ungu, Faiza Mardzoeki menjelaskan, kegiatan ini bermaksud mengajukan gagasan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) dan seni, termasuk seni teater, mempunyai hubungan yang sangat dekat dan saling membutuhkan.
Sebuah pertunjukan teater film bertajuk Waktu Tanpa Buku akan ditayangkan 10 hari berturut-turut secara virtual pada 1 hingga 10 Desember 2020 untuk menyambut 16 Hari Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia.
“Bahkan seni bisa membuat isu-isu HAM menjadi familiar,” kata Direktur sekaligus Produser teater film Waktu Tanpa Buku, Faiza Mardzoeki, dalam konferensi pers yang digelar di Hotel Harper Yogyakarta, Kamis (19/11/2020).
Faiza mengungkapkan, pementasan selama 10 hari berturut-turut digarap oleh lima sutradara perempuan dengan lima tampilan yang berbeda. Tiap sutradara menampilkan pertunjukan teater filmnya selama dua hari. Kelima sutradara, yaitu Ramdiana dari Aceh, Heliana Sinaga dari Bandung, Ruth Marini dari Jakarta, Shinta Febriany dari Makassar, serta Agnes Christina dari Yogyakarta diberi kebebasan untuk beradaptasi dan mereposisi naskah yang sama menjadi pertunjukan yang berbeda.
Sementara itu, Dana Fahadi dari Youth Centre Studies (Yousure) Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam kesempatan yang sama mengungkapkan, pihaknya juga menyelenggarakan riset tentang proses pembelajaran sejarah di SMA dan SMK dengan responden guru dan siswa. Yang menarik menurut Dana, anak-anak muda yang kerap dicap apatis ternyata mempunyai kepedulian terhadap isu-isu pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas. Tidak terbatas hanya peduli terhadap isu-isu pelanggaran HAM yang menimpa anak-anak muda seusianya.
“Dan mereka punya persepsi sendiri atas sejarah. Tidak menelan mentah-mentah yang diajarkan di sekolah,” kata Dana.
Melalui teknologi saat ini, lanjut Dana, anak muda juga dapat menyiarkan aspirasi untuk kemajuan masyarakat. Pasalnya di kemudian hari tumpuan bangsa ini dari generasi sebelumnya, juga berada di tangan anak muda saat ini.
Dalam rangka menyambut 16 Hari kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan Hari Hak Asasi Manusia, pada 25 November – 10 Desember 2020, Institut Ungu mengadakan kegiatan bertajuk ‘Dialog Seni dan HAM’.
Direktur Institut Ungu, Faiza Mardzoeki menjelaskan, kegiatan ini bermaksud mengajukan gagasan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) dan seni, termasuk seni teater, mempunyai hubungan yang sangat dekat dan saling membutuhkan.
Sebuah pertunjukan teater film bertajuk Waktu Tanpa Buku akan ditayangkan 10 hari berturut-turut secara virtual pada 1 hingga 10 Desember 2020 untuk menyambut 16 Hari Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia.
“Bahkan seni bisa membuat isu-isu HAM menjadi familiar,” kata Direktur sekaligus Produser teater film Waktu Tanpa Buku, Faiza Mardzoeki, dalam konferensi pers yang digelar di Hotel Harper Yogyakarta, Kamis (19/11/2020).
Faiza mengungkapkan, pementasan selama 10 hari berturut-turut digarap oleh lima sutradara perempuan dengan lima tampilan yang berbeda. Tiap sutradara menampilkan pertunjukan teater filmnya selama dua hari. Kelima sutradara, yaitu Ramdiana dari Aceh, Heliana Sinaga dari Bandung, Ruth Marini dari Jakarta, Shinta Febriany dari Makassar, serta Agnes Christina dari Yogyakarta diberi kebebasan untuk beradaptasi dan mereposisi naskah yang sama menjadi pertunjukan yang berbeda.
Sementara itu, Dana Fahadi dari Youth Centre Studies (Yousure) Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam kesempatan yang sama mengungkapkan, pihaknya juga menyelenggarakan riset tentang proses pembelajaran sejarah di SMA dan SMK dengan responden guru dan siswa. Yang menarik menurut Dana, anak-anak muda yang kerap dicap apatis ternyata mempunyai kepedulian terhadap isu-isu pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas. Tidak terbatas hanya peduli terhadap isu-isu pelanggaran HAM yang menimpa anak-anak muda seusianya.
“Dan mereka punya persepsi sendiri atas sejarah. Tidak menelan mentah-mentah yang diajarkan di sekolah,” kata Dana.
Melalui teknologi saat ini, lanjut Dana, anak muda juga dapat menyiarkan aspirasi untuk kemajuan masyarakat. Pasalnya di kemudian hari tumpuan bangsa ini dari generasi sebelumnya, juga berada di tangan anak muda saat ini.
Sumber: RadioEdukasi Kemdikbud