Faiza Mardzoeki

Tales from Australia 1 (old articles in Bahasa Indonesia)

Monday, December 12, 2005

Cerita dari Negeri Suburb

Faiza Mardzoeki

Intro: Mengenali kata suburb

Pernahkan anda membayangkan sebuah kehidupan di daerah suburb? Suburb menurut kamus Bahasa Inggris- Indonesia karangan John Echols dan Hassan Shadily yang diterbitkan oleh PT Gramedia Jakarta adalah bagian pinggir kota, kota satelit , daerah pinggiran kota. Kalau di Jakarta mungkin seperti Cibubur, Menteng atau Cililitan. Ya, agak sulit mendefinisikan suburb untuk konteks Jakarta, karena tata kotanya memang cukup ruwet. Karena di Jakarta ini hampir seluruh Jakarta sudah membaui suasana kota besar. Hanya di beberapa tempat yang dipandang sebagai “center/pusat” kota adalah macam Thamrin, Kuningan, Sudirman sebagai pusat kegiatan kota besar. Lalu, bagaimana dengan wilayah Senayan, Slipi ?? Sementara ada yang namanya KOTA, tetapi bukan merupakan pusat kegiatan.

Cerita Suburban di negeri empat musim Australia

Menurut Echlos dan Shadily, suburban merupakan kata sifat yang artinya di pinggiran kota. Kalau mengacu ke orang, artinya orang suburb, orang yang tinggal di pinggiran kota. Sebagai contoh, New South Wales, sebuah provinsi Australia yang beribukota Sydney, di mana saya tinggal selama satu tahun terakhir ini, hampir 95% penduduknya tinggal di suburb. Suburbnya terbagi dalam wilayah-wilayah, inner suburb (masih sekitar city/pusat) dan suburb yang sudah jauh dari city. Sedangkan suburb yang saya tinggal adalah west inner suburb, Ashfield, ke city/pusat kota hanya 15-20 menit menggunakan bus. Ada juga yang tinggal di city/pusat. Biasanya mereka menempati apartemen/flat yang sangat berdekatan/berendengan dengan pusat bisnis, perkantoran dan harganya jauh lebih mahal.

Mereka yang tinggal di city mungkin hanya 5% saja. Sedangkan kaum migran biasanya tinggal di suburb-suburb yang sudah semakin jauh dari city. Semakin jauh dari pusat kota, harganyapun lebih murah. Para pendatang ini biasanya akan mengelompok di suburb-suburb tertentu dan membentuk komunitasnya tersendiri.

Suburb dan Gaya Hidup

Newtown

Suburb-suburb di Australia juga mempunyai wajah dan ciri yang berbeda-beda. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi penghuninya. Seperti Jakarta, misalnya Menteng punya imej orang kaya atau elit. Di Sydney juga begitu. Sebagai contoh suburb Newtonw, yang merupakan salah satu suburb tertua di kota Sydney ini. Imej yang muncul adalah soal gaya hidup yang “alternatif”. Mereka, kebanyakan yang tinggal di daerah ini adalah kalangan aktivis, mahasiswa, professional muda (yang kemudian cenderung menjadi kaum Yuppies). Suburb ini penuh sesak oleh café, bar dan toko-toko fashion juga toko buku, serta ada cinema yang memutar film alternatif. Kalau kita jalan-jalan di sana, atau nongkrong minum kopi akan nampak berseliweran orang muda yang sangat modis atau yang nge- punk. Ada juga café-café yang menyediakan makanan dan minuma organic. Harganya, sangat lebih mahal dari café biasa. Aroma konsumerismenya sangat tinggi. Kebanyakan adalah orang muda yang tinggal di wilayah ini. Di arena politik penghuni Newtown ini memeluk Partai Green, yang kritis tapi moderat. Dan mungkin puluhan saja yang memilih partai kiri, macam Sosialist Alliance, yang kritis dan radikal. Padahal dalam sejarahnya, Newtown ini adalah kampung buruh. Kaum buruh memilih tinggal di dekat kota supaya gampang ke tempat kerjanya, di kota. Pada saat itu harga sewa rumah, atau kepemilikan rumah masih murah harganya. Seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi, dan neoliberalisasi, kaum buruh biasa terdesak minggir, digantikan kaum yuppies yang mampu membayar mahal rumah dan yang merasa diri berbeda hidupnya. Lifestyle, penghuni Newtown tidak sama dengan kaum kebanyakan. Karena mereka-mereka ini punya penghasilan lumayan, bisanya berpendidikan, mengikuti berita politik, “berbudaya”, bisa melihat film-film alternatif, teater, musik dan diskusi-diskusi. Tipikal kelas menengah.

Glebe

Ada juga suburb tua yang bernama Glebe, letaknya dekat banget dengan pusat kota dan berada berdampingan dengan universitas tertua di Sydney, Univeristy of Sydney. Nasibnya sama dengan Newtown. Mereka yang tinggal di Glebe ini ya orang-orang kaya baru, kaum professional dan mahasiswa. Banyak café dan toko buku. Dulunya juga merupakan kampung buruh. Cuman aouranya lebih smooth, ketimbang Newtown. Imej yang muncul, Glebe lebih banyak dihuni oleh kaum professional generasi mapan, macam akademisi.

Suburb dan kebudayaan pantai

Meskipun banyak warga Australia yang suka berlibur di Bali, karena alasan pantainya yang indah (dan lebih murah, tentu!) sebenarnya, Australia memiliki banyak pantai yang sangat indah. Di Sydney saja, ada beberapa pantai yang sangat indah, mengagumkan. Antara lain Bondi, Brontee, Coogee, Maroubra, Cornulla. Pantai-pantai ini merupakan wilayah bagian dari lautan pacific yang sangat teduh dan biru. Pantai-pantai ini sudah sangat lekat dengan orang warga Sydney (dan tourist), terutama Bondi.Australia sering mengaku bahwa salah satu kebudayaan Australia adalah pantai-beach culture-. Mereka senang sekali bermain-main di pantai, berenang, memancing atau berjemur pada saat musim panas tiba. Bahkan banyak catatan, karena senangnya berjemur di matahari musim panas di pingir pantai, jumlah orang yang terkena kanker kulit juga cukup tinggi. Memang, hampir semua orang Australia senang bermain di pantai. Turun temurun mereka menggumuli pantai dengan pasirnya yang putih. Airnya yang membentang luas, biru dengan kapal-kapalnya yang indah melintas. Para orang tua akan membawa anak-anak nya berlibur di pantai, untuk berenang atau bermain-main dengan pasir. Generasi mudanya akan berenang, main surfing, kadang memancing atau berjemur saja. Pemandangan para perempuan dan anak dengan bikini yang sangat minim, bahkan ada yang bertelanjang dada adalah hal yang biasa. Ini sudah sudah turun temurun, sejak kaum putih dari Inggris menggusur orang aborigin, yang terlebih dahulu menghuni benua kanguru ini.

kaum migran di kehidupan suburb

Suburb di mana saya tinggal, yaitu di west inner city, tepatnya di Ashfield, kehidupan suburbnya masih terasa dinamikanya. Wilayah ini masih sangat dekat dengan city, dihuni oleh pendatang dari berbagai bangsa. Dari Jerman, Italia, Polandia, Philippina dan yang tebesar dari China. Bahkan suburb ini di kenal sebagai China town ke dua. Banyak restoran, dekat dengan city, dan masih terasa kehidupan budaya yang multi etnis. Meskipun penyelengaraanya adalah musiman dan even.Suburb-suburb lain apabila semakin ke Barat, banyak dihuni kaum pendatang dari berbagai negeri lain, misal di Lakemba yang banyak dihuni dari negeri-negeri Timur Tengah, macam Libanon, Bankstonw dari negeri-negeri Africa, Capramatta dari negeri Vietnam. Hombush, banyak orang India and Sri Lanka, Cemsi, banyak pendatang dari Korea. Nuansa migran sangat terasa. Toko-toko dan rumah makan mewakili siapa penghuninya.

Kadang saya menyusuri suburb-suburb itu, menyapa rumah makan yang ada. Mencicipi masakan mereka dengan membayar dengan tidak terlalu mahal dibanding di pusat kota. Atau suatu malam saya akan mendapati café-café di daerah muslim, macam Lakemba, hanya ada laki-laki yang nongkrong sampai malam. Sesekali saya mendapati bangunan Masjid, misal di Lakemba dan Tempe (kayak nama makanan khas Indoensia, ya!). Para pendatang ini rata-rata menempati flat-flat murah. Tetapi semurah-murahnya flat di suburb-suburb ini tetap mencapai 250 dollar per minggu. Kadang mereka mensiasati dengan system sharing dengan teman lain. Suburb-suburb ini jelas sangat berbebeda dengan Glebe atau Newtown. Tidak ada gaya hidup, yang ada hanya kerja dan kerja keras agar bisa membayar bil-bil. Saya juga mempunyai banyak teman dari berbagai negeri. Mereka dari China, Sudan, India, Korea, Vietnam, Rusia dll. Cerita mereka semua berbeda, namun mempunyai tujuan sama: ingin membangun kehidupan yang lebih baik (sangat alamiah bukan?! Semua manusia ingin hidup lebih baik ke depan)Ya begitulah, Australia memang terdiri dari multi bangsa.

Menjadi Migran

Idealnya diperlukan suatu sistem pemerintahan yang “khas”, yang bisa menjamin masyarakat bisa hidup secara damai, saling mendukung dan saling pengertian. Menjadi kaum migran tidak mudah. Menerima tamupun kadang menemui kesulitan, karena akan menemui kebisaaan yang berbeda. Makanya dibutuhkan aturan, yang bisa mengakomodasi semua kepentingan ini.Tetapi tidak semudah itu. Kaum migran sering menjadi “warga kelas dua”. Selain masalah-masalah cultural shock, yang apa-apa berbeda dari negeri sebelumnya tinggal, kesulitan mencari pekerjaan, harga-harga yang sangat mahal, ataupun perlakuan diskriminasi, belum lagi masalah home sick.

Di negeri industri kaya macam Australia ini apa-apa sudah punya lorongnya sendiri. Fleksibilitas hampir gak ada. Tidak ada spontanitas, apapun harus dijadwal, direncanakan jauh-jauh. Bagi yang tidak terbisa akan terasa kaku dan formal. Seperti saya, yang orang Indonesia, suasana Asutralia di satu sisi sangat menyenankan, karena saya bisa menikmati hangat matahari, langit biru, bunga dan pucuk-pucuk daun yang menyemi, berguguran. Enjoy di taman gratis sambil membaca buku, menonton film, teater, baca di perpustakaan, melihat-lihat toko buku, makanan dari berbagai bangsa dan bertemu dengan beragam manusia berbeda etnis adalah pengalaman yang sangat menguntungkan buat saya. Pengalaman yang tidak semua orang mendapatkannya. Karenanya saya bersyukur. Tetapi di sisi lain, secara jujur, saya selalu merindui negeriku. Kadang saya sangat kangen dengan suara pedangan kaki lima melintas di depan rumah. Te…sate…atau mi dog-dog, baso, mi ayam, lontong sayur. Atau saya akan kangen mengajak ngopi secara spontan temen-temen, sambil ngomongin mimpi-mimpi buat teater, diskusi dll. Di Jakarta, kadang saya bisa ngobrol dengan 10 sampai 15 teman atau kadang Cuma 1 orang saja. Di Australia ini, apa-apa mesti dijadwal, kalau ngobrol di coffee shop dengan teman pasti terjadwal dengan pasti, tidak ada ngobrolan ngalor ngidul. Ada kegaringan. Serba formal!Kebanyakan penghuni suburb, terlalu sibuk dengan hidupnya sendiri-sendiri. Harus kerja keras. Kalau tidak kerja, tidak bis abayar bill. Kalau tidak bayar bill, bisa ditendang dan akhirnya hidup di jalanan. Sehabis cape bekerja mereka lebih suka tenggelam di sofa-sofa melototin program TV yang kadang sangat menyebalkan, atau berbequ di taman belakang. Kalau Orang Indonesia, khan sukanya duduk-duduk di teras depan, sehingga bisa ketemu atau melihat orang lain. Di OZ, sukanya di belakang, agar tidak terlihat orang lain.

Masalah Rasisme 

Belakangan, saya marasai ada kegalauan dengan persoalanm rasisme di sini. Sejak terompet anti terorisme ditiupkan ke gendang seluruh negeri-negeri oleh barat, persoalan-persoalan rasisme sering muncul. Banyak hal yang sangat sensitive dan memicu ketidaknyamanan. Saya sebagai orang Non Putih, kadang mengalami juga “tekanan” rasisme. Pada kasus Corby misalnya, ada orang Australia menunjuk jarinya ke muka saya menanyakan saya berpihak kepada siapa, kemudian di Perth tahun lalu (2004) 3 orang mabuk menghantam kaca mobil saya, ketika saya sedang menyeberang lampu merah di wilayah North Bgrigde. Di Bus, saya pernah ditegur dengan keras untuk minta maaf kepada sopir dengan cara kasar karena saya salah memencet bus (saya khan belum paham wilayah Sydney secara keseluruhan).Kemarin (18-19 Dec 2005), “perang” etnis terjadi di pantai Cornulla yang menjalar ke daerah pantai Maroubra. Pemicunya conflic kecil sekelompok pemuda Lebanon dengan penjaga pantai. Tetapi kemudia meluas. Bahkan mencapai 5000 orang putih turun ke Cornulla menegamuk, Meneriakin orang Libanon. Kemudian besoknya di Lakemba, suburb Muslim membalas “serangan” orang Putih. Saling ancam dll. Tahunn 2000 pernah terjadi “gang rape” perempuan muda Australia /kulit putih oleh gerombolan pemuda asal Lebanon.

Namun, Howard, tidak mengakui ada persoalan rasisme. Kim Beazly dari Partai Buruh sami mawon, menyatakan itu tindakan kriminal biasa. Sementara Primier NSW, Morris Iema, orang keturunan Italia, justru yang mengakui, bahwa di Australia itu dalam kasus Cornulla adalah masalah rasisme.

Australia, the Lucky Country?

Australia juga sering diklaim oleh orang Australia sendiri sebagai “The Lucky Country” Negeri ini telah menjadi tujuan kaum migran dari seluruh dunia. Meraka datang ke negeri hasil pendudukan masyarakat Aborigin ini mempunyai ragam cerita. Ada yang pindah karena alasan pendidikan, mencari kehidupan yang lebih baik secara ekonomi maupun pelarian-pelarian politik. Dan ini syah dan tidak melanggar hukum, dilindungi oleh convenan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Apalagi Australia, negeri kaya akan tambang dan pertanian ini dengan benuanya yang cukup luas dan hanya dihuni sekitar 20 juta orang saja, menjadi incaran sendiri kaum pendatang yang ingin hidup lebih baik. Di samping itu, Australia memiliki musim yang sangat menyenangkan. Bila musim panas, matahari akan bersinar penuh dan panjang. Musim dingin yang hanya 2-3 bulan tidak terlalu dingin seperti di Eropa. Musim Gugur dan Semi nya merupakan masa keindahan, kehidupan bersemi dengan indah, di mana pucuk-pucuk pohon menyemi, bunga-bunga bermekaran setelah gugur. Sudah begitu pantainya sangat indah. Inilah barangkali yang disebut sebagai “The Lucky Country”.

Wajah Australia secara umum terkesan relax, no worries mate, meskipun di dalamnya masih saja menyimpan persoalan-persoalan ekonomi, politik dan rasisme.Sekarang ini pemerintah yang berkuasa adalah Partai liberal kanan konservativ yang “membeo” habis Amerika dan sangat neolib juga phobi terhadap “Non Putih”, terutama sejak isu anti terorisme diangkat-angkat. Bahkan dengan isu anti terorisme ini, persoalan rasisme acapkali muncul. Partai oposisi, Partai Buruh sama dodolnya. Serikat-serikat buruhnya dikuasai para birokrat partai yang suka main deal dengan kaum modal. Tetapi dua partai ini, seolah sudah menjadi tradisi. Kalau yang sudah milih Liberal, turun temurun akan milih Liberal. Demikian juga di Partai Buruh. Orang yang sudah milih Partai Buruh, sampai tujuh turunanpun akan tetap memilihnya. Sulit sekali bagi partai-partai lain untuk tampil terdepan.Apa yang terjadi di Australia, sama terjadi di negeri-negeri kaya/bekas imperialis lain: Di Paris, baru bulan lalu, warga keturunan Arab mengamuk,merasa didiskriminasi. Di Amerika? Jangan deh, di sana biangnya rasisme. Kaum hitam masih menajdi warga kelas dua. Meskipun para penguasa negeri-negeri itu menolak mengakui masih ada persoalan Rasisme. Tetapi Rasisme nyatanya selalu terjadi, di mana ada ketidak adilan berlangsung.