Faiza Mardzoeki

Tales from Australia 2 (old articles in Bahasa Indonesia)

Surat Musim Semi
Kepada sahabatku, Lily
Faiza Mardzoeki

Lily,Bunga-bunga di taman Ashfield, di mana beberapa kali kita melewatinyauntuk pergi ke perkampungan Italia, Haberfield, kini telah menyemi dimusim semi sekarang ini. Warna-warni. Bunga-bunga itu terlihat indahsekali, tumbuh di antara rerumputan yang menghampar luas di kaki pohon-pohon tua yang menjulang, berdiri kokoh, memberi perlindungan. Hampirsemua warna bunga ada. Merah, putih, orange, ungu, maroon, kuning. Ah,indah sekali.Patung Jose Rizal, pahlawan revolusi Philiphina masih berdiri. Meski patungnya kecil, tetapi cukup memberi tanda peringatan, bahwa di lingkungan Ashfield ini telah bertahun-tahun dihuni juga oleh masyarakat yang berasal dari Philiphina. Coba bayangin Lily, bapak pahlawan Philiphina yang hidup di tahun 1896 – 1898 dan terkenal dengan gerakan Katipunan itu berada di hamparan luas indah taman Ashfiled, sebuah suburb di wilayah west inner kota Sydney. Meskipun sekarang ini, masyarakat Philiphina yang tinggal di Ashfield semakin tergeser oleh pendatang dari Cina, terutama sejak persitiwa Tiananmen tahun 1989 itu. Tetapi patung Jose Rizal itu telah menanda suatu pengakuan international, sekaligus suatu bukti kecintaan anak-anak negeri. Meski jauh merantau, mereka mengingat pahlawan negerinya.

Sekarang ini, Ashfield, dianggap sebagai China Town ke dua, setelah China Town di pusat kota, karena memang mayoritas penghuni Ashfield sekarang adalah imigran dari Cina. Kalau kau mau mencari makanan Cina, uh, banyak sekali. Tinggal pilih! Ada bebek panggang, dumpling, segala macam olahan mie, dan Yum Cha!.Pagi ini aku melewati taman Ashfield. Sendiri. Jam aku lewat masih belum terlalu siang. Masih jam 11 pagi. Kulihat beberapa orang di taman. Masih agak sepi. Ada orang berwajah India, nampaknya pekerja kebersihan taman, sedang istirahat. Barangkali melepaskan letih setelah membersihkan taman supaya tetap cantik. Lelaki berwajah India itu menyetel radio. Lagunya India. Irama dari radio kecil mengalun di antara desau angin dari pohon-pohon taman. Lamat-lamat, membawa kesan merindu. Rindu negeri, rindu kampung halaman. Lelaki berwajah India itu menerawang, menatap lagit biru. Aku merasa, pastilah hatinya sedang terbang jauh. Ke negeri tempat Bunda Teresa bekerja untuk para penderita kusta, dengan kasih. Tetapi si lelaki India itu mungkin tidak sedang mengenang Bunda Teresa, yang keluar-masuk perkampungan kumuh India, mengunjungi keluarga-keluarga, membasuh borok dan luka beberapa anak. Apalagi mengingat Mahatma Gandhi. Pasti sedang mengingat teman-temannya. Masa kecilnya. Entahlah. Mungkin juga sedang mengenang sang legenda, si Mangal Pandey.

Tidak jauh dari Lelaki India itu, kulihat perempuan tua etnis Cina, mungkin berusia 65 tahun. Mendorong kereta bayi. Perempuan itu sedang bermain dengan cucunya. Di kereta bayi itu bertengger radio kecil. Terdengar lagu berbahasa Cina. Ah, si perempuan tua dengan kereta bayinya itupun sedang berjalan di awan lagit Cina sana. Tubuhnya, bersama cucunya memang sedang menapaki rerumputan taman Ashfield. Tetapi hatinya masih tertambat di negeri tirai bambu. Apakah perempuan tua itu sedang mengenang pahitnya revolusi kebudayaan, dan bersyukur, telah terbebas dari kultus Mao? Tidak tahu juga. Barangkali juga justru sedang mengenang kebesarannya. Entah juga. Yang terlihat oleh mata dan hatiku, wajah perempuan tua etnis Cina itu merindu. Sebentar ia berhenti. Kemudian sedikit mengeraskan transistornya. Semakin terdengar lagu berbahasa Cina. Entah mandarin, entah Cantonese. Aku tidak mengenal bahasa itu. Tidak bisa membedakan. Karena lagu itu mengeras, cucunya terbangun. Cucunya menangis. Perempuan tua itu segera mematikan radionya. Mengusap-usap pipinya. Cucunya diam. Lalu perempuan itu melanjutkan mendorong kereta bayinya. Mengitari taman. Ia menunggu anaknya pulang kerja.

Aku meruskan berjalan, sampailah aku di tempat monumen Perang Dunia Dua. Terdapat nama-nama di tugu itu. Ah, selalu saja tertinggal nama, setelah kematian menjemputnya. Kematian yang dijemputnya dalam perang! Tahukah, bahwa nama-nama yang sekarang berderet di monumen Ashfield itu telah bertambah. Beribu deret nama. Mungkin berjuta. Di tugu-tugu lain. Di makam-makam lain. Di Irak, di Afganistan. Di Aceh. Di Timor Leste. Di Bosnia. Di mana lagi? Masih banyak. Kematian yang konyol. Kadang aku menganggap manusia bisa bertindak sangat bodoh. Sebodoh-bodohnya. Kenapa manusia kadang memilih merusak, serakah. Bahkan memilih mati dalam perang. Tetapi tetap kukenang juga, bahwa di antara mereka yang mati dalam perang, dalam perusakan, adalah merangkul kematian dalam hormat, karena mereka mati untuk harga manusia, untuk jiwa menuntut adil, yang mau tidak mau, yang suka tidak suka, kadang mati adalah jalan yang mesti ditempuh. Mesti dibedakan. Mana mati konyol. Mana mati terhormat. Tapi sama: MATI. Ah, manusia.

Lily,Tiba-tiba aku mengingat percakapan denganmu, beberapa menit sebelum kita berdua memberi “kuliah” di kelas study politik mahasiswa smester tiga di University of Sydney. Kita bercakap, bernostalgi. Kemudian kita memberi kesimpulan bahwa kita berdua telah melewati perjalanan hidup, laluan waktu yang panjang. Ah, Lily, kita kayak mau mati saja. Hidup kita masih cukup muda. Kita ini masih 30 an tahun kok! Kita masih cukup waktu untuk meraup pengalaman-pengalaman, memberi makna, memberi warna pada hidup. Ya,ya, memang kita telah melewati berbagai soal. Mengisi sebagian hidup kita yang telah menyejarah sendiri. Tiga belas tahun lalu, saat ku temui kau pertama kali, kau masih seperti gadis Anak Baru Gede (ABG) dengan tas rangsel di pundak, sebagai ciri mahasiwa, aktivis. Kau masih gaya sekali waktu itu. Ya, gaya ABG! Tetapi dua tahun setelah itu, aku mendengar sepak terjangmu melawan diktator! Bayangkan, kau gadis ABG itu sudah aktiv bicara perubahan masyarakat, datang ke kampung-kampung buruh, membawa pamflet, menyebar propaganda. Ah, dan, kau sekarang, sudah jadi penulis cerita, sudah menang, sudah datang di berbagai seminar, ke Jepang, Tasmania, Sydney, Cianjur, Solo, dan tempat lain.

Di ruang yang berbeda. Kemudian aku terkenang juga, saat kita memutarkan film di kelas mahasiswa politik, sebuah film tentang gerakan rakyat dan mahasiswa melawan rezim orde baru, kau menangis. Kau teringat teman-temanmu yang sampai sekarang hilang. Tak tahu rimba, setelah diculik bersamaan dengan memanasnya situasi politik waktu itu. Kau menangis. Akupun tersendat. Ah,kawan-kawan yang hingga hari ini hilang, tepatnya dihilangkan. Kita berdoa ya Ly, semoga mereka yang dihilangkan masuk sorga. Dan, mereka yang sengaja merampasnya, semoga disadarkan. Di hukum yang adil. Entah kapan.

Aku melanjutkan perjalananku. Meniggalkan Ashfiled, menuju Paramatta Road dan menyeberanginya untuk menuju Haberfield, suburb yang dikenal sebagai suburb Italia. Hari ini aku sengaja ke Haberfiled. Mau membaca buku di warung kopi. Sedang bosan membaca di kamar atau di perpustakaan. Butuh suasana baru. Aku mau membaca buku scenario film karya Jhon Irving, The Cider House Rules. Sepanjang berjalan, sebentar-sebentar mataku mengerjap langit. Langit yang sebiru-birunya. Aku belum lagi memikirkan bukunya Irving itu. Malah hatiku melompat jauh ke negeriku. Negeri kita tercinta, Lily, Indonesia. Di saat mataku memeluk langit biru itu, hatiku mengembara pada pekatnya langit Jakarta, yang senantiasa kelabu. Abu-abu. Di Jakarta, langit pun sudah kehilangan hak-nya untuk berwarna biru. Begitu padatnya kendaraan roda empat mewah, sepeda motor, bus-bus. Jutaan manusia. Dari berbagai penjuru. Dari kampung halaman. Apartemen mewah. Rumah kumuh. Restoran dengan sigar dan anggur-nya. Kaki lima seharga lima ribu rupiah. Anak-anak penyemir sepatu. Penyanyi kecrek jalanan. Perempuan pekerja malam. Festival-festival. Musik, film, seni lukis. Drama. Diorama. Fragment. Diskusi-diskusi: anggaran APBN pro perempuan, tolak kenaikan BBM, Flu burung. Demonstrasi di jalan. Peneliti asing. Akademisi. Artist. Ini itu. Itu ini. Begitulah wajah Jakarta. Aku tetap mencintai dengan setulusku. Aku cinta negeriku. Aku tak pernah lelah membicarakannya. Seperti saat kita jatuh cinta. Begitulah. Bagaikan manusia yang selalu jatuh cinta. Ia tetap ada. Negeri kita. Di hati kita, Lily!

Lily,Dua hari lalu kau masih mendesakku untuk pulang. “Kau kudu pulang ke Jakata, ke Indonesia. Di negeri kita, kau lebih bisa berbuat sesuatu yang berguna”, begitulah surat elektronikmu berbunyi.Ya, ya. Aku sekarang masih di negeri empat musim. Negeri Kanguru. Negeri Koala. Negeri BBQ. Negeri Big Brother. Negeri no worries, mate. Negeri sofa. Negeri laid back. Negeri back packers. Negeri picknik. Negeri pantai. Negeri yang sebagian kelas buruhnya suka berlibur di Bali. Negeri yang rakyatnya ramah. Multibangsa. Negeri yang para artisnya suka dengan gamelan, eksotisme, Jawa, Bali, atau suka gaya bohemian, Jogyakarta. Negeri yang berjanji kasih 1 juta dollar setelah tsunami. Negeri yang juga menerima tetesan kemakmuran dari negeri yang sedang termiskinkan terus menerus, Indonesia.

Lily, kita jangan GR, jangan bersenang hati, si Jhonny Howard berjanji kasih bantuan 1 juta dollar, atau kasih beasiswa ini-itu. Kita juga harus bangga (seharusnya sih prihatin), ingat, Lily, berapa ribu pelajar Indonesia yang membayar mahal untuk bisa sekolah di negeri OZ ini. Sebagian warga negara kita, yang sedang belajar itu, yang membayar sangat mahal itu, telah berkontribusi banyak sekali untuk masyarakat OZ, sehingga warga OZ sendiri bisa bersekolah sangat murah sekali, bahkan bisa ngutang dulu, dengan system HECS itu. Lily, kemarin teman saya yang dari Bandung datang ke rumah, untuk makan malam dan nonton film dokumenter bareng tentang gerakan mahasiswa 98. Temanku cerita, biaya sekolah untuk meraih master sebesar 30 ribu dollar pertahun! Bayangkan, kalau dirupiahkan sekitar 250 juta per tahun!!!. Coba, berapa ribu pelajar yang membayar mahal seperti ini. Kalau jumlah ini dikalikan, termasuk biaya hidup sehari-harinya, berapa trilyun uang itu bisa terkumpul, dan akan sangat berguna sekali untuk membangun pendidikan yang lebih baik di negeri kita sendiri, Indonesia! Perempuan, anak, semua tanpa kecuali, bisa belajar. Meraih ilmu. Ah, Tapi uang ini justru mengalir di negeri yang lebih makmur berlipat-lipat kali dengan Indonesia, Oz ini, Lily!

Lily,Tapi, yang terjadi justru negeri kita banyak hutang. Hutang Luar negeri itu. Memang, kalau negeri kita, Indonesia, dibilang banyak utang, memang banyak utang. Bukan salah kita, rakyatnya, itu salah para pengelola pemerintahan yang tidak peka. Tidak pro kesejehteraan. Juga itu memang sengaja didesain agar negeri kita punya utang, kok. Mereka, IMF, WTO, Bank Dunia, dan masih banyak lagi agen utang, broker rentenir. Di sisi lain, seperti yang sudah kubilang, Ly, negeri Indonesia sudah memberi banyak sekali kepada negeri-negeri asing, termasuk negeri OZ ini. Ya, melalui pendidikan, ya melalui pertambangan, ya melalui tenaga kerjanyanya, para TKW/TKI. Kita telah “memberi” banyak kepada negeri-negeri lain, termasuk OZ. Sudah terlalu banyak bahkan. Sampai-sampai untuk anak-anak negeri sendiri tidak tersisa. Ah, Lily, aku ingat-ingat ini. Aku akan tegak. Aku akan bangga jadi anak bangsa Indonesia. Kita, rakyat, sih terus berfikir, berusaha yang baik. Yang tidak peka, para pengelola pemerintah, Ly. Tetapi kita tidak akan putus asa. Suatu saat apa yang dinamai kemakmuran akan terwujud. Ah, Ly, ini bukan utopia, khan?Ly,Enak saja, ya, masa yang bisa menikmati langit biru, mudahnya mendapatkan buku-buku sekolah, menikmati taman-taman gratis, bisa liburan, bisa cuti kerja, bisa buat penelitian, bisa buat macam-macam, cuma mereka yang ada di negeri-negeri yang pernah menjajah. Bahkan diam-diam, negeri-negeri kaya itu terus menerus merambah pelan dan pasti, mengeruk terus. Menggerus kita, anak-anak negeri yang telah bertahun-tahun dirampok. Kita, suatu saat kudu berhak mendapatkan yang seharusnya. Biar taman Monas itu juga tidak lagi dipagari. Biar anak-anak bebas masuk. Supaya para ibu riang gembira mengajak para bidadarinya bermain. Syaratnya, bila kemakmuran dan keadilan itu ada. Benar-benar. Bukan utopia.Ly.

Aku sudah sampai di Haberfiled. Aku akan meneruskan membaca bukunya John Irving ini. Tentang emailmu yang memintaku segera pulang, ya, ya, aku merencanakan Desember akan pulang untuk berbuat sesuatu itu. Aku tinggal di Oz ini bukan berarti aku tidak cinta dengan bangsaku, Ly. Aku mencintai bangsaku, juga mencintai teman hidupku, yang juga sangat mencintai negeri kita, Ly. Kami berbagi. Suatu saat di Indonesia, suatu saat di OZ. Kami ingin bersikap adil. Kami bekerja dan belajar di OZ tetapi kami juga akan tetap berbuat, bekerja untuk pertiwi kita. Indonesia. Sebisa kita, sebangga kita, ya, Ly. Kita berusaha. Adil sejak dalam pikiran, kata Jean Marais dalam Bumi Manusia-nya Pram.

Ly, kukabarkan juga, mawar-mawar di belakang flat kami sedang bermekaran. Semoga harum dan warnanya, sampai ke hidung dan matamu, yang sedang di negeri langit pekat, di tanah tropik yang abadi. Ly, Aku berdoa, suatu saat, sodara-sodara kita di tanah air hidup bahagia, tanpa mumet memikirkan ongkos-ongkos yang semakin merambat naik. Naik terus sampai ke puncak gunung. Tinggi-tinggi sekali. Sampai kaki-kaki itu melemas. Terjungkal. Ah, kesusahan ini harus berhenti. Mereka yang sudah terlalu lama hidup susah, sungguh punya hak hidup bahagia. Tidur nyenyak, sehat, dan bisa sekolah.

Sampaikan doaku ini juga ya Ly, ke para pemimpin negeri kita. Sementara aku akan mengadu ke Tuhan. Mudah-mudahan Tuhan juga mendengar dan mengabulkan doa dari orang-orang yang sudah terlalu lama susah.Ly, kukenang kau saat melewati taman Ashfield itu.Ashfield, Sydney, Australia, 23 Sep 2005.